Freelance Jobs CO.CC:Free Domain

Selasa, 23 Februari 2010

مقدمة الفية


مقدمة

قال محمد هو ابن مالك  #  احمد ربي الله خير مالك
Muhammad anak lelakinya Malik berkata  *  Aku memuji Allah Tuhanku Sebaik-baiknya Raja
Ibnu Malik, nama lengkapnya adalah Muhammad Jamaluddin ibn Abdillah ibn Malik al-Thay, lahir pada tahun 600 H. di Jayyan. Daerah ini sebuah kota kecil di bawah kekuasaan Andalusia (Spanyol). Pada saat itu, penduduk negeri ini sangat cinta kepada ilmu, dan mereka berpacu dalam menempuh pendidikan, bahkan berpacu pula dalam karang-mengarang buku-buku ilmiah. Pada masa kecil, Ibn Malik menuntut ilmu di daerahnya, terutama belajar pada Syaikh Al-Syalaubini (w. 645 H). Setelah menginjak dewasa, ia berangkat ke Timur untuk menunaikan ibadah haji,dan diteruskan menempuh ilmu di Damaskus. Di sana ia belajar ilmu dari beberapa ulama setempat, antara lain Al-Sakhawi (w. 643 H). Dari sana berangkat lagi ke Aleppo, dan belajar ilmu kepada Syaikh Ibn Ya’isy al-Halaby (w. 643 H).

Di kawasan dua kota ini nama Ibn Malik mulai dikenal dan dikagumi oleh para ilmuan, karena cerdas dan pemikirannya jernih. Ia banyak menampilkan teori-teori nahwiyah yang menggambarkan teori-teori mazhab Andalusia, yang jarang diketahui oleh orang-orang Syiria waktu itu. Teori nahwiyah semacam ini, banyak diikuti oleh murid-muridnya, seperti imam Al-Nawawi, Ibn al-Athar, Al-Mizzi, Al-Dzahabi, Al-Shairafi, dan Qadli al-Qudlat Ibn Jama’ah. Untuk menguatkan teorinya, sarjana besar kelahiran Eropa ini, senantiasa mengambil saksi (syahid) dari teks-teks Al-Qur’an. Kalau tidak didapatkan, ia menyajikan teks Al-Hadits. Kalau tidak didapatkan lagi, ia mengambil saksi dari sya’ir-sya’ir sastrawan Arab kenamaan. Semua pemikiran yang diproses melalui paradigma ini dituangkan dalam kitab-kitab karangannya, baik berbentuk nazhom (syair puitis) atau berbentuk natsar (prosa). Pada umumnya, karangan tokoh ini lebih baik dan lebih indah dari pada tokoh-tokoh pendahulunya.

Di antara ulama, ada yang menghimpun semua tulisannya, ternyata tulisan itu lebih banyak berbentuk nazham. Demikian tulisan Al-Sayuthi dalam kitabnya, Bughyat al-Wu’at. Di antara karangannya adalah Nazhom al-Kafiyah al-Syafiyah yang terdiri dari 2757 bait. Kitab ini menyajikan semua informasi tentang Ilmu Nahwu dan Shorof yang diikuti dengan komentar (syarah). Kemudian kitab ini diringkas menjadi seribu bait, yang kini terkenal dengan nama Alfiyah Ibn Malik. Kitab ini bisa disebut Al-Khulashah (ringkasan) karena isinya mengutip inti uraian dari Al-Kafiyah, dan bisa juga disebut Alfiyah (ribuan) karena bait syairnya terdiri dari seribu baris. Kitab ini terdiri dari delapan puluh (80) bab, dan setiap bab diisi oleh beberapa bait.

Bab yang terpendek diisi oleh dua bait seperti Bab al-Ikhtishash dan bab yang terpanjang adalah Jama’ Taktsir karena diisi empat puluh dua bait. Dalam muqaddimahnya, kitab puisi yang memakai Bahar Rojaz ini disusun dengan maksud (1) menghimpun semua permasalahan nahwiyah dan shorof yang dianggap penting. (2) menerangkan hal-hal yang rumit dengan bahasa yang singkat , tetapi sanggup menghimpun kaidah yang berbeda-beda, atau dengan sebuah contoh yang bisa menggambarkan satu persyaratan yang diperlukan oleh kaidah itu.(3) membangkitkan perasaan senang bagi orang yang ingin mempelajari isinya. Semua itu terbukti, sehingga kitab ini lebih baik dari pada Kitab Alfiyah karya Ibn Mu’thi. Meskipun begitu, penulisnya tetap menghargai Ibnu Mu’thi karena tokoh ini membuka kreativitas dan lebih senior. Dalam Islam, semua junior harus menghargai seniornya, paling tidak karena dia lebih sepuh, dan menampilkan kreativitas.

Kitab Khulashoh yang telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa di dunia ini, memiliki posisi yang penting dalam perkembangan Ilmu Nahwu. Berkat kitab ini dan kitab aslinya, nama Ibn Malik menjadi popular, dan pendapatnya banyak dikutip oleh para ulama, termasuk ulama yang mengembangkan ilmu di Timur. Al-Radli, seorang cendekiawan besar ketika menyusun Syarah Al-Kafiyah karya Ibn Hajib, banyaklah mengutip dan mempopulerkan pendapat Ibn Malik. Dengan kata lain, perkembangan nahwu setelah ambruknya beberapa akademisi Abbasiyah di Baghdad, dan merosotnya para ilmuan Daulat Fathimiyah di Mesir, maka para pelajar pada umumnya mengikuti pemikiran Ibnu Malik. Sebelum kerajaan besar di Andalusia runtuh, pelajaran nahwu pada awalnya, tidak banyak diminati oleh masyarakat. Tetapi setelah lama, pelajaran ini menjadi kebutuhan dan dinamislah gerakan karang-mengarang kitab tentang ilmu yang menarik bagi kaum santri ini. Di sana beredarlah banyak karangan yang beda-beda, dari karangan yang paling singkat sampai karangan yang terurai lebar. Maksud penulisnya ingin menyebarkan ilmu ini, kepada masyarakat, dan dapat diambil manfaat oleh kaum pelajar. Dari sekian banyak itu, muncullah Ibn Malik, Ibn Hisyam, dan al-Sayuthi. Karangan mereka tentang kitab-kitab nahwu banyak menampilkan metoda baru dan banyak menyajikan trobosan baru, yang memperkaya khazanah keilmuan. Mereka tetap menampilkan khazanah keilmuan baru, meskipun banyak pula teori-teori lama yang masih dipakai. Dengan kata lain, mereka menampilkan gagasan dan kreatifitas yang baru, seolah-olah hidup mereka disiapkan untuk menjadi penerus Imam Sibawaih (Penggagas munculnya Nahwu dan Shorof, red.). Atas dasar itu, Alfiyah Ibn Malik adalah kitab yang amat banyak dibantu oleh ulama-ulama lain dengan menulis syarah (ulasan) dan hasyiyah (catatan pinggir) terhadap syarah itu.

Dalam kitab Kasyf al-Zhunun, para ulama penulis Syarah Alfiyah berjumlah lebih dari empat puluh orang. Mereka ada yang menulis dengan panjang lebar, ada yang menulis dengan singkat (mukhtashar), dan ada pula ulama yang tulisannya belum selesai. Di sela-sela itu muncullah beberapa kreasi baru dari beberapa ulama yang memberikan catatan pinggir (hasyiyah) terhadap kitab-kitab syarah. Syarah Alfiyah yang ditulis pertama adalah buah pena putera Ibn Malik sendiri, Muhammad Badruddin (w.686 H). Syarah ini banyak mengkritik pemikiran nahwiyah yang diuraikan oleh ayahnya, seperti kritik tentang uraian maf’ul mutlaq, tanazu’ dan sifat mutasyabihat. Kritikannya itu aneh tapi putera ini yakin bahwa tulisan ayahnya perlu ditata ulang. Atas dasar itu, Badruddin mengarang bait Alfiyah tandingan dan mengambil syahid dari ayat al-Qur’an. Disitu tampak rasional juga, tetapi hampir semua ilmuan tahu bahwa tidak semua teks al-Qur’an bisa disesuaikan dengan teori-teori nahwiyah yang sudah dianggap baku oleh ulama. Kritikus yang pada masa mudanya bertempat di Ba’labak ini, sangat rasional dan cukup beralasan, hanya saja ia banyak mendukung teori-teori nahwiyah yang syadz Karena itu, penulis-penulis Syarah Alfiyah yang muncul berikutnya, seperti Ibn Hisyam, Ibn Aqil, dan Al-Asymuni, banyak meralat alur pemikiran putra Ibn Malik tadi. Meskipun begitu, Syarah Badrudin ini cukup menarik, sehingga banyak juga ulama besar yang menulis hasyiyah untuknya, seperti karya Ibn Jama’ah (w.819 H), Al-‘Ainy (w.855 H), Zakaria al-Anshariy (w.191 H), Al-Sayuthi (w.911 H), Ibn Qasim al-Abbadi (w.994 H), dan Qadli Taqiyuddin ibn Abdulqadir al-Tamimiy (w.1005 H).

Di antara penulis-penulis syarah Alfiyah lainnya, yang bisa ditampilkan dalam tulisan ini, adalah Al-Muradi, Ibn Hisyam, Ibn Aqil, dan Al-Asymuni.

Al-Muradi (w. 749 H) menulis dua kitab syarah untuk kitab Tashil al-Fawaid dan Nazham Alfiyah, keduanya karya Ibn Malik. Meskipun syarah ini tidak popular di Indonseia, tetapi pendapat-pendapatnya banyak dikutip oleh ulama lain. Antara lain Al-Damaminy (w. 827 H) seorang sastrawan besar ketika menulis syarah Tashil al-Fawaid menjadikan karya Al-Muradi itu sebagai kitab rujukan. Begitu pula Al-Asymuni ketika menyusun Syarah Alfiyah dan Ibn Hisyam ketika menyusun Al-Mughni banyak mengutip pemikiran al-Muradi yang muridnya Abu Hayyan itu.

Ibn Hisyam (w.761 H) adalah ahli nahwu raksasa yang karya-karyanya banyak dikagumi oleh ulama berikutnya. Di antara karya itu Syarah Alfiyah yang bernama Audlah al-Masalik yang terkenal dengan sebutan Audlah . Dalam kitab ini ia banyak menyempurnakan definisi suatu istilah yang konsepnya telah disusun oleh Ibn Malik, seperti definisi tentang tamyiz. Ia juga banyak menertibkan kaidah-kaidah yang antara satu sama lain bertemu, seperti kaidah-kaidah dalam Bab Tashrif. Tentu saja, ia tidak hanya terpaku oleh Mazhab Andalusia, tetapi juga mengutip Mazhab Kufa, Bashrah dan semacamnya. Kitab ini cukup menarik, sehingga banyak ulama besar yang menulis hasyiyahnya. Antara lain Hasyiyah Al-Sayuthi, Hasyiyah Ibn Jama’ah, Ha-syiyah Putera Ibn Hisyam sendiri, Hasyiyah Al-Ainiy, Hasyiyah Al-Karkhi, Hasyiyah Al-Sa’di al-Maliki al-Makki, dan yang menarik lagi adalah catatan kaki ( ta’liq ) bagi Kitab al-Taudlih yang disusun oleh Khalid ibn Abdullah al-Azhari (w. 905 H).

Adapun Ibn Aqil (w. 769 H) adalah ulama kelahiran Aleppo dan pernah menjabat sebagai penghulu besar di Mesir. Karya tulisnya banyak, tetapi yang terkenal adalah Syarah Alfiyah. Syarah ini sangat sederhana dan mudah dicerna oleh orang-orang pemula yang ingin mempelajari Alfiyah Ibn Malik . Ia mampu menguraikan bait-bait Alfiyah secara metodologis, sehingga terungkaplah apa yang dimaksudkan oleh Ibn Malik pada umumnya. Penulis berpendapat, bahwa kitab ini adalah Syarah Alfiyah yang paling banyak beredar di pondok-pondok pesantren, dan banyak dibaca oleh kaum santri di Indonesia. Terhadap syarah ini, ulama berikutnya tampil untuk menulis hasyiyahnya. Antara lain Hasyiyah Ibn al-Mayyit, Hasyiyah Athiyah al-Ajhuri, Hasyiyah al-Syuja’i, dan Hasyiyah Al-Khudlariy.

Syarah Alfiyah yang hebat lagi adalah Manhaj al-Salik karya Al-Asymuni (w. 929 H). Syarah ini sangat kaya akan informasi, dan sumber kutipannya sangat bervariasi. Syarah ini dapat dinilai sebagai kitab nahwu yang paling sempurna, karena memasukkan berbagai pendapat mazhab dengan argumentasinya masing-masing. Dalam syarah ini, pendapat para penulis Syarah Alfiyah sebelumnya banyak dikutip dan dianalisa. Antara lain mengulas pendapat Putra Ibn Malik, Al-Muradi, Ibn Aqil, Al-Sayuthi, dan Ibn Hisyam, bahkan dikutip pula komentar Ibn Malik sendiri yang dituangkan dalam Syarah Al-Kafiyah , tetapi tidak dicantumkan dalam Alfiyah . Semua kutipan-kutipan itu diletakkan pada posisi yang tepat dan disajikan secara sistematis, sehingga para pembaca mudah menyelusuri suatu pendapat dari sumber aslinya.

Kitab ini memiliki banyak hasyiyah juga, antara lain : Hasyiyah Hasan ibn Ali al-Mudabbighi, Hasyiyah Ahmad ibn Umar al-Asqathi, Hasyiyah al-Hifni, dan Hasyiyah al-Shabban. Dalam muqaddimah hasyiyah yang disebut akhir ini, penulisnya mencantumkan ulasan, bahwa metodanya didasarkan atas tiga unsur, yaitu (a) Karangannya akan merangkum semua pendapat ulama nahwu yang mendahului penulis, yang terurai dalam kitab-kitab syarah al-Asymuni. (b) Karangannya akan mengulas beberapa masalah yang sering menimbulkan salah faham bagi pembaca. (c) Menyajikan komentar baru yang belum ditampilkan oleh penulis hasyiyah sebelumnya. Dengan demikian, kitab ini bisa dinilai sebagai pelengkap catatan bagi orang yang ingin mempelajari teori-teori ilmu nahwu.
مصليا على الرسول المصطفى  #  واهله المستكملين الشرفا
Dengan membaca sholawat atas Rasul yang Terpilih * dan keluarganya yaitu orang-orang yang semprna lagi mulia.
واستعين الله في الفية  #  مقاصد النحو بها محوية
Dan aku minta tolong pada Allah didalam menyusun Kitab Alfiyah * yang denganya , maksud-maksud ilmu nahwu telah tercakup.
تفرب الأقصى بلفظ موجز  #  وتبسط البذل بوعد منجز
(Alfiyah) mendekatkan/menjangkau pengertian yang jauh/mendalam dengan lafazh yang singkat * dan meluaskan pemberian /pemahaman yang banyak dengan janji yang kontan (waktu yang cepat)
وتقتضى رضا بغير سخط  #  فائقة ألفية ابن المعطى
Maka ia menuntut keridhoan tanpa kemarahan ( ketekunan dan kesabaran dalam mempelajarinya ) * Ia telah mencakup Kitab Alfiyah karangan Ibn Mu’thi.
وهو بسبق حائز تفضيلا  #  مستوجب ثنائي الجميلا
Dan sebab lebih dulu sebetulnya beliaulah yang berhaq memperoleh keutamaan * dan  mewajibkan pujian baiku (untuknya ).
والله يقضى بهبات وافرة  #  لي وله في درجات الأخرة
Semoga Allah mnetapkan pemberian-pemberian yang sempurna * untuku dan untuknya didalam derajat-derajat akhirat.

Read more...

Ilmu Nahwu : Filsafat Ilmu Nahwu

Dalam kitab “Al Kawakib Al Durriyah” diceritakan, Syeikh Imam Al-Sonhaji, pengarang sebuah kitab nahwu, tatkala telah rampung menulis sebuah buku tentang kaidah nahwu yang ditulisnya dengan menggunakan sebuah tinta, beliau mempunyai azam untuk meletakkan karyanya tersebut di dalam air. Dengan segala sifat kewara’annya dan ketawakkalannya yang tinggi, beliau berkata dalam dirinya : “Ya Allah jika saja karyaku ini akan bermanfaat, maka jadikanlah tinta yang aku pakai untuk menulis ini tidak luntur di dalam air”. Ajaib, ternyata tinta yang tertulis pada lembaran kertas tersebut tidak luntur. Dalam riwayat lain disebutkan, ketika beliau merampungkan karya tulisnya tersebut, beliau berazam akan menenggelamkan tulisannya tersebut dalam air mengalir, dan jika kitab itu terbawa arus air berarti karya itu kurang bermanfaat. Namun bila ia tahan terhadap arus air, maka berarti ia akan tetap bertahan dikaji orang dan bermanfaat. Sambil meletakkan kitab itu pada air mengalir, beliau berkata : “Juruu Miyaah, juruu miyaah” (mengalirlah wahai air!). Anehnya, setelah kitab itu diletakkan pada air mengalir, kitab yang baru ditulis itu tetap pada tempatnya.

Itulah kitab matan “Al-Jurumiyah” karya Imam Al Sonhaji yang masih dipelajari hingga kini. Sebuah kitab kecil dan ringkas namun padat yang berisi kaidah-kaidah ilmu nahwu dan menjadi kitab rujukan para pelajar pemula dalam mendalami ilmu nahwu (kaidah bahasa Arab) di berbagai dunia. Selain ringkas, kitab mungil ini juga mudah dihafal oleh para pelajar.
Di sini penulis tidak hendak mengemukakan kaidah ilmu nahwu dengan segala pembagiannya. Yang akan penulis kemukakan adalah, bahwa di dalam kitab yang melulu membahas tata bahasa Arab, ternyata kalau dikaji lebih dalam lagi, ia memiliki filsafat-filsafat hidup dan nasehat yang sangat berharga bagi setiap generasi terutama bagi kita sebagai ummat Islam. Filsafat hidup yang termaktub dalam kitab itu sendiri merupakan “hukum” atas suatu kalam atau kalimat dalam ilmu nahwu. Berikut ini adalah contohnya:
Bersatu Kita Terhormat
Dalam ilmu nahwu, “dhommah” adalah salah satu tanda dari tanda-tanda “rofa’”. Secara lafdziah kata dhommah berarti bersatu. Sedang kata rofa’ berarti tinggi. Maksudnya, bila kita dapat bersatu dengan sesama, dapat menjaga kesatuan dan persatuan, dapat mempererat tali ukhuwah, bukan tidak mungkin kita akan menjadi umat yang terhormat dan tinggi (rofa’) di antara bangsa dan umat lain.
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT :”Bersatulah kalian pada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian berpecah belah” (Ali Imran: 103). Sementara untuk mendapatkan derajat tinggi harus memenuhi syarat, di antaranya adalah iman. Firman Allah SWT: “Janganlah kalian merasa hina dan sedih, padahal kamu tinggi jika kamu beriman (Ali Imran: 139).
Ada beberapa keriteria sehingga orang bisa mendapatkan derajat rofa’ (tinggi). Sebagaimana dijelaskan dalam Al Jurumiyah, bahwa di antara kedudukan kalimat yang mendapat hukum rofa’ atau marfu’ (yang diberi penghargaan tinggi) adalah: fa’il, naib fa’il, mubtada’, khobar dan tawabi’ marfu’(sesuatu yang mengikuti segala kalimat marfu’) seperti sifat (na’t), badal, taukid dan ‘atof. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Fa’il (aktivis). Bila kita ingin menjadi orang yang dihargai, tinggi dan tidak terhina, maka hendaklah kita berbuat, bekerja dan berusaha, tidak berpangku tangan atau hanya mengharap belas kasih orang lain. Hanya orang yang aktif dan pro aktiflah (fa’il) yang membuahkan karya-karya dan amal dan menjadi terhormat di lingkungannya. Firman Allah SWT: “Dan katakanlah (hai Muhammad) : Bekerjalah kalian! sesungguhnya pekerjaan kalian akan dilihat oleh Allah, RasulNya dan kaum mu’minin” (At Taubah : 105). Sabda Nabi Muhammad SAW: “ tangan di atas (pemberi) lebih baik dari tangan di bawah(peminta)”.
2. Naib fa’il (mewakili tugas-tugas aktivis) adalah tipe kedua orang yang mendapat derajat tinggi. Meskipun ia berkedudukan sebagai wakil, tapi ia menjalankan pekerjaan yang dilakukan fa’il walau harus menjadi penderita dalam kedudukannya sebagai kalimat. Sebagai contoh dalam hal ini adalah sahabat Ali ra. Beliau pernah menggantikan Rasulullah di tempat tidurnya dengan resiko yang tinggi berupa pembunuhan yang akan dilakukan para pemuda musyrikin Makkah saat Rasulullah berencana melaksanakan hijrah ke Madinah. Contoh lain adalah para huffadz yang diutus Rasulullah untuk mengajarkan agama atas permintaan salah satu suku di jazirah Arab, namun nasib mereka naas dikhianati dan dibunuh para pengundang. Mendengar hal itu, Rasulullah pun membacakan do’a qunut nazilah sebagi rasa ta’ziyah. Dengan do’a dari Rasul tersebut, tentu saja mereka yang wafat mendapat kedudukan mulia di sisi Allah, juga oleh sejarah.
3. Mubtada (pioneer), orang yang pertama melahirkan ide-ide positif kemudian diaplikasikannya di tengah-tengah masyarakat sehingga berguna bagi kehidupan manusia adalah orang yang pantas mendapat derajat rofa’ (tinggi). Oleh karena itu Rasulullah SAW bersabda: “ Barang siapa memulai sunnah hasanah (ide positif dan konstruktif) maka baginya pahala dan pahala orang yang melakukan ide (sunnah) tersebut”. Ada pepatah Arab mengatakan demikian:
الفضل للمبتدئ وان أحسن المقتدى
“Perhargaan itu hanyalah milik orang pertama memulai, walaupun orang yang datang kemudian dapat melakukannya lebih baik”
4. Khobar (informasi). Mereka yang memiliki khobar (informasi) itulah orang yang menguasai. Demikian salah satu ungkapan dalam ilmu komunikasi. Di dunia ini sebenarnya tidak ada orang yang lebih banyak ilmunya dari seorang lain. Yang ada adalah karena orang itu lebih banyak mendapatkan dan menyerap informasi dari lainnya. Membaca buku, apapun buku itu, sebenarnya kita sedang menyerap sebuah informasi. Dan sebanyak itu informasi yang kita dapatkan sebesar itu pula kadar maqam kita. Informasi dapat kita peroleh melalui berbagai cara, termasuk di dalamnya pengalaman.
5, Tawabi’ Marfu’ (Mereka yang mengikuti jejak langkah orang yang mendapat derajar tinggi). Jelas, siapa saja yang mengikuti langkah dan perjuangan mereka yang mendapat derajat tinggi, maka mereka akan dihargai. Allah berfirman: “Sungguh dalam diri Rasulullah ada suri tauladan yang patut ditiru bagimu”. Ayat ini menegaskan kepada kita untuk mengikuti Rasulullah yang telah mendapatkan maqoman mahmuda (kedudukan terpuji) di sisi Allah agar kita mendapat hal yang sama di sisiNya. Di samping itu, salah satu orang yang akan mendapat derajat tinggi adalah para penuntut ilmu. Firman Allah SWT : “Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kamu dan mereka yang diberi ilmu dengan beberapa derajat” (Al Mujadalah: 11). Ilmu adalah warisan para nabi, dan siapa yang mengikuti (tabi’) langkah nabi ia akan mendapat kehormatan (rofa’)
Berpecah Belah Adalah Kerendahan
Tanda kasroh dalam ilmu nahwu adalah salah satu tanda hukum khofadh. Secara harfiah, kata kasroh bermakna pecah atau perpecahan. Sedangkan kata khofadh bermakna kerendahan atau kehinaan. Dengan demikian suatu umat akan mengalami kerendahan dan kehinaan apabila mereka melakukan perpecahan, tidak bersatu dan tidak berukhuwah. Wajar saja bila para musuh menyantap dengan lahapnya kekayaan kaum (muslimin) disebabkan mereka tidak mau bersatu dan menjaga persatuan. Inilah yang pernah dikhawatirkan oleh Nabi Muhammad SAW empat belas abad lalu, tatkala beliau menyatakan bahwa suatu saat umat Islam akan menjadi santapan umat lain seperti srigala sedang menyantap makanan. Para sahabat bertanya: “Apakah saat itu jumlah kita sedikit ?” Rasul menjawab: “Tidak, justru kalian saat itu menjadi mayoritas, tapi kualitas kalian seperti buih. Sungguh Allah akan mencabut rasa takut dari musush-musuh kalian kepada kalian dan Allah akan mencampakkan dalam diri kalian penyakit al-wahan”. Sahabat bertanya: “apakah penyakit al-wahan itu?” Rasul SAW menjawab: “cinta dunia dan takut mati”.
Dengan penyakit itulah, umat Islam mengalami perpecahan. Sebab yang diperjuangkan bukan lagi agama mereka, tetapi materi dan keduniaan yang pada akhirnya tidak lagi mengindahkan kekompakkan dan persatuan di antara sesama ummat Islam.
Di samping itu sifat buih, seberapa banyak dan sebesar apapun, ia akan terombang-ambing oleh angin yang meniupnya. Itulah tamsil umat Islam yang tidak memperkokoh persatuan.
Hal inilah yang diisyaratkan oleh Al-Sonhaji, bahwa penyebab segala isim (nama) menjadi makhfudh (rendah dan hina) adalah karena tunduk dan ikut-ikutan terhadap huruf khofad (faktor kerendahan). Atau dalam istilah nahwu lain, isim menjadi majrur (objek yang terseret-seret/mengikuti arus) karena disebabkan mengikuti huruf jar (faktor yang menyeret-nyeretnya) .
Karena itu, hendaknya ummat Islam selalu menjadi ikan hidup di tengah samudera. Meskipun air samudera terasa asin, namun sang ikan hidup tetap terasa tawar. Sebaliknya, jika ummat ini bagaikan ikan mati, maka ia dapat diperbuat apa saja sesuai keinginan orang lain. Bila diberi garam ia akan menjadi ikan asin dan lain sebagainya.
Berusahalah, Maka Jalan Akan Terbuka
Dalam kaidah ilmu nahwu, di antara tanda nashob adalah fathah. Secara lafdziah, kata nashob bermakna bekerja dan berpayah-payah. Sedang kata fathah bermakna terbuka. Dalam hal ini, maka mereka yang mau bekerja dan berupaya serta berpayah-payah (nashob) dalam usaha, maka mereka akan mendapatkan jalan yang terbuka (fathah). Sesulit apapun problem yang dihadapi, jika berusaha dan berpayah-payah untuk mengatasinya, maka insya Allah akan menemukan jalan keluarnya. Oleh karena itu Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal orang yang berbuat di antara kalian dari laki-laki dan wanita”. (Ali Imran: 195). Dalam Kitab Diwan As-Syafi’i. Imam Syafi’i pernah menulis bait syair sebagai berikut:
سافر تجد عوضا عمن تفارقه # وانصب فان لذيذ العيش فى النصب
اني رأيت وقوف الماء يفسده # ان سال طاب وان لم يجري لم يطب
Pergilah bermusafir, maka anda akan dapatkan pengganti orang yang anda tinggalkan ; Bersusah payahlah !, karena kenikmatan hidup ini didapat dengan bersusah payah (nashob).
Sungguh aku menyaksikan mandeg-nya air dapat merusakkan dirinya ; Namun bila ia mengalir ia menjadi baik. Dan jika menggenang ia jadi tidak baik.
Dalam bait syair ini, Imam Syafi’i ingin menegaskan, bahwa orang yang berpangku tangan dan tidak mau bekerja keras akan menjadi rusak, bagaikan rusaknya air yang tergenang sehingga menjadi comberan yang kotor dan bau. Sebaliknya, bila ia mau bersusah payah dan bergerak maka ia bagaikan air jernih yang mengalir. Indahnya kenikmatan hidup ini terletak pada bersusah payah.
Bahkan al-Quran mengisyaratkan kepada kita untuk tidak berpangku tangan di tengah waktu-waktu senggang kita. Bila usai melakukan satu pekerjaan, cepatlah melakukan hal lain. Firman Allah SWT:
فاذا فرغت فانصب
“Dan jika kamu selesai (melakukan tugas), maka lakukanlah tugas lain (nashob)” (Al Insyiroh: 7).
Kepastian Akan Menimbulkan Rasa Tenang
Kaidah lain yang terdapat dalam ilmu nahwu adalah, bahwa di antara tanda jazm adalah sukun. Secara lafdziah, kata jazm bermakna kepastian. Sedang kata sukun berarti ketenangan. Ini mengajarkan kepada kita, bahwa kepastian (jazm) akan melahirkan rasa ketenangan (sukun). Orang yang tidak mendapatkan kepastian dalam suatu urusan biasanya akan merasakan kegelisahan. Sebagai contoh seorang remaja yang ingin melamar seorang gadis kemudian tidak mendapatkan kepastian, dia akan mengalami kegelisahan. Demikian juga orang yang hidupnya sendiri, ia tidak mendapatkan ketenangan. Oleh karena itu Allah SWT mengisyaratkan kita agar mempunyai teman pendamping dalam hidup ini agar mendapat ketenangan. Firman Allah SWT:
ومن آياته ان خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا اليها
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan Allah adalah Ia menjadikan bagimu pasangan dari jenismu (manusia) agar kalian merasa tenteram kepadanya” (Ar Rum: 21).
Wallahu’alam
*) H. Muhammad Jamhuri, Lc MA. Adalah Alumni Pondok Pesantren Daarul Rahman Angkatan 11 (th 1990), Kini tinggal di Kota Tangerang dengan amanah sebagai Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Asy-Syukriyyah-Tangerang. Makalah ditulis di Makkah Al Mukarramah, Rabu 5 Sya’ban 1421H/1 Nopember 2000 M.

Read more...

Humor Santri : Masuk Surga Karena Ilmu Nahwu

As-sibawaih yang memiliki nama asli Amr ibn Abbas adalah salah satu tokoh ulama yang menguasai berbagai disiplin ilmu terutama ilmu tata bahasa Arab yang dikenal dengan nama Nahwu. Beberapa hari setelah meninggalnya ulama yang dikenal sebagai orang yang tubuhnya mengeluarkan aroma buah apel ini, salah seorang sahabat beliau bermimpi bertemu dengannya yang tengah menikmati kemegahan di alamnya.
Sang Sahabat melihat Imam Sibawaih sedang memakai pakaian yang sangat mewah dengan hidangan beraneka warna disekitarnya serta dikelilingi oleh beberapa bidadari rupawan di sebuah tempat yang sangat indah mempesona.Sahabat itupun bertanya kepada Imam Sibawaih, gerangan apa yang membuatnya menerima kemulyaan begitu rupa. Imam Sibawaih kemudian menceritakan pengalamannya ketika ditanya oleh malaikat di dalam kubur.
Ketika malaikat sudah menanyakan pertanyaan-pertanyaan kubur yang seluruhnya dapat dijawab dengan baik, malaikat bertanya kepadanya :
“Tahukah anda, perbuatan apa yang telah membuat anda bisa menjawab dengan baik pertanyaan-pertanyaan kami tadi?”
“Apakah karena ibadah saya?” Imam Sibawaih mencoba menebak.
“Bukan itu!” kata Malaikat.
“Apakah karena ilmu saya?”
“Bukan itu!”
“Apakah karena karangan-karangan saya?”
“Bukan!”
”Berbagai jawaban yang diberikan oleh Imam Sibawaih tidak ada yang dibenarkan oleh Malaikat.
Hingga akhirnya Imam Sibawaih menyerah karena tidak mengetahui jawaban sebenarnya.
“Allah SWT telah menyelamatkan anda sehingga anda dapat menjawab pertanyaan kubur dengan baik adalah karena pendapat anda yang menyatakan bahwa yang paling ma’rifat dari semua isim ma’rifat adalah lafazh jalalah”. Kata Malaikat menerangkan.

(Imam Asy-Syarwani dalam mukadimahnya Hawasyi Asy-Syarwani)
Ref. ;  Sidogiri.net ; NU-Online

Read more...

Sejarah Ilmu Nahwu

Seperti halnya bahasa-bahasa yang lain, Bahasa Arab mempunyai kaidah-kaidah tersendiri di dalam mengungkapkan atau menuliskan sesuatu hal, baik berupa komunikasi atau informasi.
Lalu, bagaimana sebenarnya awal mula terbentuknya kaidah-kaidah ini, dan kenapa dikatakan dengan istilah nahwu?. Simak artikel berikut.
Pada jaman Jahiliyyah, kebiasaan orang-orang Arab ketika mereka berucap atau berkomunikasi dengan orang lain, mereka melakukannya dengan tabiat masing-masing, dan lafazh-lafazh yang muncul, terbentuk dengan peraturan yang telah ditetapkan mereka, di mana para junior belajar kepada senior, para anak belajar bahasa dari orang tuanya dan seterusnya. Namun ketika Islam datang dan menyebar ke negeri Persia dan Romawi, terjadinya pernikahan orang Arab dengan orang non Arab, serta terjadi perdagangan dan pendidikan, menjadikan Bahasa Arab bercampur baur dengan bahasa non Arab. Orang yang fasih bahasanya menjadi jelek dan banyak terjadi salah ucap, sehingga keindahan Bahasa Arab menjadi hilang. Dari kondisi inilah mendorong adanya pembuatan kaidah-kaidah yang disimpulkan dari ucapan orang Arab yang fasih yang bisa dijadikan rujukan dalam mengharakati bahasa Arab, sehingga muncullah ilmu pertama yang dibuat untuk menyelamatkan Bahasa Arab dari kerusakan, yang disebut dengan ilmu Nahwu.
Adapun orang yang pertama kali menyusun kaidah Bahasa Arab adalah Abul Aswad Ad-Duali dari Bani Kinaanah atas dasar perintah Khalifah Sayidina Ali Bin Abi Thalib, KW.
Terdapat suatu kisah yang dinukil dari Abul Aswad Ad-Duali, bahwasanya ketika ia sedang berjalan-jalan dengan anak perempuannya pada malam hari, sang anak mendongakkan wajahnya ke langit dan memikirkan tentang indahnya serta bagusnya bintang-bintang. Kemudian ia berkata, مَا أَحْسَنُ السَّمَاءِ . “Apakah yang paling indah di langit?”. Dengan mengkasrah hamzah, yang menunjukkan kalimat tanya.
Kemudian sang ayah mengatakan, نُجُوْمُهَا يَا بُنَيَّةُ . “Wahai anakku, Bintang-bintangnya”.
Namun sang anak menyanggah dengan mengatakan, اِنَّمَا اَرَدْتُ التَّعَجُّبَ . “Sesungguhnya aku ingin mengungkapkan kekaguman”.
Maka sang ayah mengatakan, kalau begitu ucapkanlah, مَا اَحْسَنَ السَّمَاءَ . “Betapa indahnya langit”. Bukan, مَا اَحْسَنُ السَّمَاءِ . “Apakah yang paling indah di langit?”. Dengan memfathahkan hamzah…

****

Dikisahkan pula dari Abul Aswad Ad-Duali, ketika ia melewati seseorang yang sedang membaca al-Qur’an, ia mendengar sang qari membaca surat At-Taubah ayat 3 dengan ucapan, أَنَّ اللهَ بَرِىءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولِهُ Dengan mengkasrahkan huruf lam pada kata rasuulihi yang seharusnya di dhommah. Menjadikan artinya “…Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan rasulnya..”
Hal ini menyebabkan arti dari kalimat tersebut menjadi rusak dan menyesatkan.

Seharusnya kalimat tersebut adalah, أَنَّ اللهَ بَرِىءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُوْلُهُ “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin.”
Karena mendengar perkataan ini, Abul Aswad Ad-Duali menjadi ketakutan, ia takut keindahan Bahasa Arab menjadi rusak dan gagahnya Bahasa Arab ini menjadi hilang, padahal hal tersebut terjadi di awal mula daulah Islam.
Kemudian hal ini disadari oleh khalifah Ali Bin Abi Thalib, sehingga ia memperbaiki keadaan ini dengan membuat pembagian kata, bab inna dan saudaranya, bentuk idhofah (penyandaran), kalimat ta’ajjub (kekaguman), kata tanya dan selainnya, kemudian Ali Bin Abi Thalib berkata kepada Abul Aswad Adduali, اُنْحُ هَذَا النَّحْوَ “Ikutilah jalan ini”.
Dari kalimat inilah, ilmu kaidah Bahasa Arab disebut dengan ilmu nahwu. (Arti nahwu secara bahasa adalah arah). Kemudian Abul Aswad Ad-Duali melaksanakan tugasnya dan menambahi kaidah tersebut dengan bab-bab lainnya sampai terkumpul bab-bab yang mencukupi. Kemudian, dari Abul Aswad Ad-Duali inilah muncul ulama-ulama Bahasa Arab lainnya, seperti Abu Amru bin ‘alaai, kemudian al Kholil al Farahidi al Bashri (peletak ilmu arudh dan penulis mu’jam pertama) , sampai ke Sibawaih dan Kisai (pakar ilmu nahwu, dan menjadi rujukan dalam kaidah Bahasa Arab).
Seiring dengan berjalannya waktu, kaidah Bahasa Arab berpecah belah menjadi dua mazhab, yakni mazhab Basrah dan Kuufi (padahal kedua-duanya bukan termasuk daerah Jazirah Arab). Kedua mazhab ini tidak henti-hentinya tersebar sampai akhirnya mereka membaguskan pembukuan ilmu nahwu sampai kepada kita sekarang.
Demikianlah sejarah awal terbentuknya ilmu nahwu, di mana kata nahwu ternyata berasal dari ucapan Khalifah Ali bin Abi Thalib, sepupu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Referensi : Al-Qowaaidul Asaasiyyah Lil Lughotil Arobiyyah

Read more...

Tentang Ibnu Malik dan Alfiyah

Ibnu Malik, nama lengkapnya adalah Syeikh Al-Alamah Muhammad Jamaluddin ibnu Abdillah ibnu Malik al-Thay, lahir di Jayyan. Daerah ini sebuah kota kecil di bawah kekuasaan Andalusia (Spanyol). Pada saat itu, penduduk negeri ini sangat cinta kepada ilmu, dan mereka berpacu dalam menempuh pendidikan, bahkan berpacu pula dalam karang-mengarang buku-buku ilmiah. Pada masa kecil, Ibn Malik menuntut ilmu di daerahnya, terutama belajar pada Syaikh Al-Syalaubini (w. 645 H). Setelah menginjak dewasa, ia berangkat ke Timur untuk menunaikan ibadah haji,dan diteruskan menempuh ilmu di Damaskus. Di sana ia belajar ilmu dari beberapa ulama setempat, antara lain Al-Sakhawi (w. 643 H). Dari sana berangkat lagi ke Aleppo, dan belajar ilmu kepada Syaikh Ibn Ya’isy al-Halaby (w. 643 H).

Di kawasan dua kota ini nama Ibn Malik mulai dikenal dan dikagumi oleh para ilmuan, karena cerdas dan pemikirannya jernih. Ia banyak menampilkan teori-teori nahwiyah yang menggambarkan teori-teori mazhab Andalusia, yang jarang diketahui oleh orang-orang Syiria waktu itu. Teori nahwiyah semacam ini, banyak diikuti oleh murid-muridnya, seperti imam Al-Nawawi, Ibn al-Athar, Al-Mizzi, Al-Dzahabi, Al-Shairafi, dan Qadli al-Qudlat Ibn Jama’ah. Untuk menguatkan teorinya, sarjana besar kelahiran Eropa ini, senantiasa mengambil saksi (syahid) dari teks-teks Al-Qur’an. Kalau tidak didapatkan, ia menyajikan teks Al-Hadits. Kalau tidak didapatkan lagi, ia mengambil saksi dari sya’ir-sya’ir sastrawan Arab kenamaan. Semua pemikiran yang diproses melalui paradigma ini dituangkan dalam kitab-kitab karangannya, baik berbentuk nazhom (syair puitis) atau berbentuk natsar (prosa). Pada umumnya, karangan tokoh ini lebih baik dan lebih indah dari pada tokoh-tokoh pendahulunya.
Di antara ulama, ada yang menghimpun semua tulisannya, ternyata tulisan itu lebih banyak berbentuk nazham. Demikian tulisan Al-Sayuthi dalam kitabnya, Bughyat al-Wu’at. Di antara karangannya adalah Nazhom al-Kafiyah al-Syafiyah yang terdiri dari 2757 bait. Kitab ini menyajikan semua informasi tentang Ilmu Nahwu dan Shorof yang diikuti dengan komentar (syarah). Kemudian kitab ini diringkas menjadi seribu bait, yang kini terkenal dengan nama Alfiyah Ibn Malik. Kitab ini bisa disebut Al-Khulashah (ringkasan) karena isinya mengutip inti uraian dari Al-Kafiyah, dan bisa juga disebut Alfiyah (ribuan) karena bait syairnya terdiri dari seribu baris. Kitab ini terdiri dari delapan puluh (80) bab, dan setiap bab diisi oleh beberapa bait.
Bab yang terpendek diisi oleh dua bait seperti Bab al-Ikhtishash dan bab yang terpanjang adalah Jama’ Taktsir karena diisi empat puluh dua bait. Dalam muqaddimahnya, kitab puisi yang memakai Bahar Rojaz ini disusun dengan maksud (1) menghimpun semua permasalahan nahwiyah dan shorof yang dianggap penting. (2) menerangkan hal-hal yang rumit dengan bahasa yang singkat , tetapi sanggup menghimpun kaidah yang berbeda-beda, atau dengan sebuah contoh yang bisa menggambarkan satu persyaratan yang diperlukan oleh kaidah itu.(3) membangkitkan perasaan senang bagi orang yang ingin mempelajari isinya. Semua itu terbukti, sehingga kitab ini lebih baik dari pada Kitab Alfiyah karya Ibn Mu’thi. Meskipun begitu, penulisnya tetap menghargai Ibnu Mu’thi karena tokoh ini membuka kreativitas dan lebih senior. Dalam Islam, semua junior harus menghargai seniornya, paling tidak karena dia lebih sepuh, dan menampilkan kreativitas.
Kitab Khulashoh yang telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa di dunia ini, memiliki posisi yang penting dalam perkembangan Ilmu Nahwu. Berkat kitab ini dan kitab aslinya, nama Ibn Malik menjadi popular, dan pendapatnya banyak dikutip oleh para ulama, termasuk ulama yang mengembangkan ilmu di Timur. Al-Radli, seorang cendekiawan besar ketika menyusun Syarah Al-Kafiyah karya Ibn Hajib, banyaklah mengutip dan mempopulerkan pendapat Ibn Malik. Dengan kata lain, perkembangan nahwu setelah ambruknya beberapa akademisi Abbasiyah di Baghdad, dan merosotnya para ilmuan Daulat Fathimiyah di Mesir, maka para pelajar pada umumnya mengikuti pemikiran Ibnu Malik. Sebelum kerajaan besar di Andalusia runtuh, pelajaran nahwu pada awalnya, tidak banyak diminati oleh masyarakat. Tetapi setelah lama, pelajaran ini menjadi kebutuhan dan dinamislah gerakan karang-mengarang kitab tentang ilmu yang menarik bagi kaum santri ini. Di sana beredarlah banyak karangan yang beda-beda, dari karangan yang paling singkat sampai karangan yang terurai lebar. Maksud penulisnya ingin menyebarkan ilmu ini, kepada masyarakat, dan dapat diambil manfaat oleh kaum pelajar. Dari sekian banyak itu, muncullah Ibn Malik, Ibn Hisyam, dan al-Sayuthi. Karangan mereka tentang kitab-kitab nahwu banyak menampilkan metoda baru dan banyak menyajikan trobosan baru, yang memperkaya khazanah keilmuan. Mereka tetap menampilkan khazanah keilmuan baru, meskipun banyak pula teori-teori lama yang masih dipakai. Dengan kata lain, mereka menampilkan gagasan dan kreatifitas yang baru, seolah-olah hidup mereka disiapkan untuk menjadi penerus Imam Sibawaih (Penggagas munculnya Nahwu dan Shorof, red.). Atas dasar itu, Alfiyah Ibn Malik adalah kitab yang amat banyak dibantu oleh ulama-ulama lain dengan menulis syarah (ulasan) dan hasyiyah (catatan pinggir) terhadap syarah itu.
Dalam kitab Kasyf al-Zhunun, para ulama penulis Syarah Alfiyah berjumlah lebih dari empat puluh orang. Mereka ada yang menulis dengan panjang lebar, ada yang menulis dengan singkat (mukhtashar), dan ada pula ulama yang tulisannya belum selesai. Di sela-sela itu muncullah beberapa kreasi baru dari beberapa ulama yang memberikan catatan pinggir (hasyiyah) terhadap kitab-kitab syarah. Syarah Alfiyah yang ditulis pertama adalah buah pena putera Ibn Malik sendiri, Muhammad Badruddin (w.686 H). Syarah ini banyak mengkritik pemikiran nahwiyah yang diuraikan oleh ayahnya, seperti kritik tentang uraian maf’ul mutlaq, tanazu’ dan sifat mutasyabihat. Kritikannya itu aneh tapi putera ini yakin bahwa tulisan ayahnya perlu ditata ulang. Atas dasar itu, Badruddin mengarang bait Alfiyah tandingan dan mengambil syahid dari ayat al-Qur’an. Disitu tampak rasional juga, tetapi hampir semua ilmuan tahu bahwa tidak semua teks al-Qur’an bisa disesuaikan dengan teori-teori nahwiyah yang sudah dianggap baku oleh ulama. Kritikus yang pada masa mudanya bertempat di Ba’labak ini, sangat rasional dan cukup beralasan, hanya saja ia banyak mendukung teori-teori nahwiyah yang syadz Karena itu, penulis-penulis Syarah Alfiyah yang muncul berikutnya, seperti Ibn Hisyam, Ibn Aqil, dan Al-Asymuni, banyak meralat alur pemikiran putra Ibn Malik tadi. Meskipun begitu, Syarah Badrudin ini cukup menarik, sehingga banyak juga ulama besar yang menulis hasyiyah untuknya, seperti karya Ibn Jama’ah (w.819 H), Al-‘Ainy (w.855 H), Zakaria al-Anshariy (w.191 H), Al-Sayuthi (w.911 H), Ibn Qasim al-Abbadi (w.994 H), dan Qadli Taqiyuddin ibn Abdulqadir al-Tamimiy (w.1005 H).
Di antara penulis-penulis syarah Alfiyah lainnya, yang bisa ditampilkan dalam tulisan ini, adalah Al-Muradi, Ibn Hisyam, Ibn Aqil, dan Al-Asymuni.
Al-Muradi (w. 749 H) menulis dua kitab syarah untuk kitab Tashil al-Fawaid dan Nazham Alfiyah, keduanya karya Ibn Malik. Meskipun syarah ini tidak popular di Indonseia, tetapi pendapat-pendapatnya banyak dikutip oleh ulama lain. Antara lain Al-Damaminy (w. 827 H) seorang sastrawan besar ketika menulis syarah Tashil al-Fawaid menjadikan karya Al-Muradi itu sebagai kitab rujukan. Begitu pula Al-Asymuni ketika menyusun Syarah Alfiyah dan Ibn Hisyam ketika menyusun Al-Mughni banyak mengutip pemikiran al-Muradi yang muridnya Abu Hayyan itu.
Ibn Hisyam (w.761 H) adalah ahli nahwu raksasa yang karya-karyanya banyak dikagumi oleh ulama berikutnya. Di antara karya itu Syarah Alfiyah yang bernama Audlah al-Masalik yang terkenal dengan sebutan Audlah . Dalam kitab ini ia banyak menyempurnakan definisi suatu istilah yang konsepnya telah disusun oleh Ibn Malik, seperti definisi tentang tamyiz. Ia juga banyak menertibkan kaidah-kaidah yang antara satu sama lain bertemu, seperti kaidah-kaidah dalam Bab Tashrif. Tentu saja, ia tidak hanya terpaku oleh Mazhab Andalusia, tetapi juga mengutip Mazhab Kufa, Bashrah dan semacamnya. Kitab ini cukup menarik, sehingga banyak ulama besar yang menulis hasyiyahnya. Antara lain Hasyiyah Al-Sayuthi, Hasyiyah Ibn Jama’ah, Ha-syiyah Putera Ibn Hisyam sendiri, Hasyiyah Al-Ainiy, Hasyiyah Al-Karkhi, Hasyiyah Al-Sa’di al-Maliki al-Makki, dan yang menarik lagi adalah catatan kaki ( ta’liq ) bagi Kitab al-Taudlih yang disusun oleh Khalid ibn Abdullah al-Azhari (w. 905 H).
Adapun Ibn Aqil (w. 769 H) adalah ulama kelahiran Aleppo dan pernah menjabat sebagai penghulu besar di Mesir. Karya tulisnya banyak, tetapi yang terkenal adalah Syarah Alfiyah. Syarah ini sangat sederhana dan mudah dicerna oleh orang-orang pemula yang ingin mempelajari Alfiyah Ibn Malik . Ia mampu menguraikan bait-bait Alfiyah secara metodologis, sehingga terungkaplah apa yang dimaksudkan oleh Ibn Malik pada umumnya. Penulis berpendapat, bahwa kitab ini adalah Syarah Alfiyah yang paling banyak beredar di pondok-pondok pesantren, dan banyak dibaca oleh kaum santri di Indonesia. Terhadap syarah ini, ulama berikutnya tampil untuk menulis hasyiyahnya. Antara lain Hasyiyah Ibn al-Mayyit, Hasyiyah Athiyah al-Ajhuri, Hasyiyah al-Syuja’i, dan Hasyiyah Al-Khudlariy.
Syarah Alfiyah yang hebat lagi adalah Manhaj al-Salik karya Al-Asymuni (w. 929 H). Syarah ini sangat kaya akan informasi, dan sumber kutipannya sangat bervariasi. Syarah ini dapat dinilai sebagai kitab nahwu yang paling sempurna, karena memasukkan berbagai pendapat mazhab dengan argumentasinya masing-masing. Dalam syarah ini, pendapat para penulis Syarah Alfiyah sebelumnya banyak dikutip dan dianalisa. Antara lain mengulas pendapat Putra Ibn Malik, Al-Muradi, Ibn Aqil, Al-Sayuthi, dan Ibn Hisyam, bahkan dikutip pula komentar Ibn Malik sendiri yang dituangkan dalam Syarah Al-Kafiyah , tetapi tidak dicantumkan dalam Alfiyah . Semua kutipan-kutipan itu diletakkan pada posisi yang tepat dan disajikan secara sistematis, sehingga para pembaca mudah menyelusuri suatu pendapat dari sumber aslinya.
Kitab ini memiliki banyak hasyiyah juga, antara lain : Hasyiyah Hasan ibn Ali al-Mudabbighi, Hasyiyah Ahmad ibn Umar al-Asqathi, Hasyiyah al-Hifni, dan Hasyiyah al-Shabban. Dalam muqaddimah hasyiyah yang disebut akhir ini, penulisnya mencantumkan ulasan, bahwa metodanya didasarkan atas tiga unsur, yaitu (a) Karangannya akan merangkum semua pendapat ulama nahwu yang mendahului penulis, yang terurai dalam kitab-kitab syarah al-Asymuni. (b) Karangannya akan mengulas beberapa masalah yang sering menimbulkan salah faham bagi pembaca. (c) Menyajikan komentar baru yang belum ditampilkan oleh penulis hasyiyah sebelumnya. Dengan demikian, kitab ini bisa dinilai sebagai pelengkap catatan bagi orang yang ingin mempelajari teori-teori ilmu nahwu.

Read more...

Muqoddimah Alfiyah Ibnu Malik

بسم الله الرحمن الرحيم

Assalamualikum wrb....shohib kenapa saya menulis posting tentang alfiyah!!!!! yah inlah jiwaku, jiwa seorang santri (gaul) soalnya dri kecil  ane kepingin belajar kitab kuning tpi waktu dan keadaan yg membuatku ta bisa tercapai cita2ku malahan belajar yang lain seperti komputer dll tpi semuanya itu ada manfaatanya buat diriku dan sekarang ane belajar kitab kuning dengan belajar online????
sambil membuat posting sambil belajar, insyaAllah blog ini akan saya rintis untuk belajar tentang islam dari mp3,video,dll

مقدمة
قال محمد هو ابن مالك # احمد ربي الله خير مالك

Muhammad anak lelakinya Malik berkata # Aku memuji Allah Tuhanku Sebaik-baiknya Raja
مصليا على الرسول المصطفى # و ا له المستكملين الشرفا

Dengan membaca sholawat atas Rasul yang Terpilih # dan keluarganya yaitu orang-orang yang sempurna lagi mulia.

واستعين الله في الفية # مقاصد النحو بها محوية

Dan aku minta tolong pada Allah didalam menyusun Kitab Alfiyah # yang denganya , maksud-maksud ilmu nahwu telah tercakup.

تفرب الأقصى بلفظ موجز # وتبسط البذل بوعد منجز

(Alfiyah) mendekatkan/menjangkau pengertian yang jauh/mendalam dengan lafazh yang singkat # dan meluaskan pemberian/pemahaman yang banyak dengan janji yang kontan (waktu yang cepat)

وتقتضى رضا بغير سخط # فائقة ألفية ابن المعطى

Maka ia menuntut keridhoan tanpa kemarahan (ketekunan dan kesabaran dalam mempelajarinya) # Ia telah mencakup Kitab Alfiyah karangan Ibn Mu’thi.

وهو بسبق حائز تفضيلا # مستوجب ثنائي الجميلا

Dan sebab lebih dulu sebetulnya beliaulah yang berhaq memperoleh keutamaan # dan mewajibkan pujian baiku (untuknya).

والله يقضى بهبات وافرة # لي وله في درجات الأخرة

Semoga Allah menetapkan pemberian-pemberian yang sempurna # untuku dan untuknya didalam derajat-derajat akhirat.

Read more...

Minggu, 21 Februari 2010

Mahfudzot kelas 2

شرح المحفوظات
مقرر للصف الثاني
بكلية المعلمين الإسلامية
شرح المحفوظات
مقرر للصف الثاني
الطبعة المنقحة


صفر 1427/ مارس
2006
بمعهد دار السلام كونتور الحديث للتربية الإسلامية
قسم المنهج الدراسي بكلية المعلمين الإسلامية
المواد المقررة لدرس المحفوظات للصف الثاني
الفصل الدراسي الثاني الفصل الدراسي الأول
الإقتصاد 1 الحث على التعلم (1) 1
المقتطفات (2) 2 أدب المجالسة 2
المقتطفات (3) 3 الشرف بالأدب 3
احترام المعلم و الطبيب 4 قال الإمام الشافعي رضي الله عنه (1) 4
المقتطفات (4) 5 الحث على التعلم (2) 5
قال الإمام الشافعى رضي الله عنه (2) 6 حق الوالدين 6
الحث على التعلم (3) 7 التواضع (1) 7
للبوصيرى في تحذير هوى النفس 8 التواضع (2) 8
أسبوع المراجعة الصدق 9
الحكم والأمثال السائرة (1) 9 النصيحة 10
الحكم و الأمثال السائرة (2) 10 أسبوع المراجعة
المواد لعملية التدريس بقر ما تعتني تنال ما تتمنى 11
الحكم و الأمثال السائرة (3) 11 الكشافة 12
الحكم و الأمثال السائرة (4) 12 المقتطفات (1) 13
الرحلة في طلب الغنى 13 الصبر 14
لعمرو بن الوردى في طلب العلم 14
المقدّمة
الحمد لله الذي خلق الإنسان علّمه البيان. والصلاة والسلام على خير الأنام سيّدنا محمّد وعلى آله وصحبه أجمعين.
أمّا بعد، فهذه هي درس المحفوظات المقرّرة للسنة الثانية بكلّيّة المعلّمين الإسلاميّة معهد التربية الإسلاميّة كونتور فونوروكو. بعد أن رأيت أنّ بعض المدرّسين يشعرون بالصعوبة في فهم هذه الدروس وشرحها أمام التلاميذ لنقصان تجاربهم في التدريس وقصور معلوماتهم في هذه المادّة فقمت بشرحها وتوضيح مقاصدها مستعينا بالله فأتيت بمثل هذا الشرح البسيط راجيا من الله تعالى عسى أن يكون نافعا للمدرّسين ولغيرهم من القارئين والمستفيدين ولنا جميعا.
تمّ هذا الشرح بعون الله وبمساعدة بعض المدرّسين المخلصين جزاهم الله الخيرات في شهر رجب سنة 1408 المعادل بشهر مارس سنة 1988.
القائم بالشرح
الأستاذ الحاج محمّد رحمت
التوجيهات والإرشادات
1. هذا الكتاب “المحفوظات وشرحها” خاصّ للمدرّسين فلا يجوز للتلاميذ أن يستحقّوا أو ينقلوه.
2. عند التعليم لايجوز للمدرّسين أن يكتبوا شرح هذه المحفوظات بل اللازم عليه أن يشرحها شفهيّا.
3. قبل البدء في التعليم على المدرّسين أن يقرؤوها ويحفظوها ويستوعبوا بيانها وأن يستعدّوا تمام الاستعداد حتّى استطاعوا النجاح في التعليم.
4. يجب على المدرّسين معرفة النقط المهمّة من هذا الدرس من الآداب الحسنة أو الحصال المحمودة أو المبادئ الأساسيّة للحياة و أن يغرسها في نفوس التلاميذ.
5. يلزم للمدرّسين أثناء تدريسهم (عند الإمكان) أن يربطوا هذا الدرس بالدروس الأخرى أو ا لحوادث الاجتماعيّة أو الوقائع التاريخيّة التي تؤكّد شقّة التلاميذ وتزيدهم شوقها.
6. أن يكون المدرّسون قدوة حسنة لتلاميذهم في جميع النواحي.
7. أن يتبع المدرّسون في تعليمهم الطرق الصحيحة في التدريس.
8. على جميع مدرّسي المحفوظات أن يفصحوا ويفتّشوا كتابة التلاميذ في كرّاساتهم لعلها وقعت في الخطأ فيصلحوها ويجوز ذلك في كلّ مناسبة. فالازم مرتان في السنة على الأقلّ يعني قبل بدء كلّ الامتحان.
9. يلزم للمدرّسين أن ينبّهوا تلاميذهم أنّهم لايجوز لهم أن يخلّطوا كتابة المفردات أو معاني الكلمات الغامضة في كرّاسة واحدة مع متون المحفوظات بل عليهم أن يكتبوها في كرّاسة خاصّة لها.
الإعداد في التعليم
إنّ من أهمّ الشروط في التعليم هو الإعداد، لأنّ نجاح المدرّس في تعليمه نتوقّف كثيرا على وجود إعداده وكماله فيجب على المدرّس قبل البدء في تعليمه أن يستعدّ استعدادا كاملا روحيّا ومادّيّا.
والمراد بالإعداد الروحي هو عزيمته القويّة في التعليم وشوقه فيه ونشاطه في مهنته وخلوص نيّته طلبا لمرضاة الله وغزارة علومه الراسخة في ذهنه بكثرة اطلاعه على الكتب المتنوّعة واستشارته ذوي العلوم والمعارف ومهارته في طريقة تعليمه حتّى يكون للمدرّس خيرا في مهنته وكلّ ما يكون لازما للتعليم ملكة له.
أنّا الإعداد المادّي هو عبارة عن موادّ الدروس المكتوبة في كرّاسةٍ خاصّة وهو يشمل الدروس التي يلقيها المدرّس أمام تلاميذه، والكلام الذي يخرجه لبيان هذه الدروس فيكون كلامه صحيحا فصيحا مرتّبا حتّى يستطيع تلاميذه أن يفهموه يسهولة.
ويشمل كذلك بيان كلّ ما سيير عليه المدرّس في تدريسه مدّة حصّة من خطواته وحركاته بعد التفكير الدقيق والفهم العميق فلايقع بذلك في خطأ في تعليمه.
وممّا يلزم لكلّي مدرّس قبل بدئه في التدريس ولايمكن إهماله هو استشارته من مشرفه في إعداده لتصحيحه وإصلاحه فيما عساه أن يكون فيه من الخطأ ثمّ ليستمضيه دلاله على صحّة إعداده.
وهكذا من الأمور اللازمة لكلّ مدرّس بل هي تعتبر من أهمّ الواجبات، فعليه أن يعملها يوميّا قبل البدء في التعليم.
الخطوات التي يلزم أن يسير عليها مدرّس المحفوظات:
- الافتتاح: دخول الفصل بالإعداد الكامل وبالأدوات اللازمة للتعليم مع
إلقاء السلام ثمّ تنظيم الفصل (إذا لم يكن منظّما) ثمّ السؤال عن المادّة ثمّ كتابتها وكتابة التاريخ.
- المقدّمة: وهي الأسئلة أو التطبيق عن الدرس الماضي على قدر الكفاية ثمّ ربطها بموضوع جديد ثمّ كتابة هذا الموضوع على السبّورة ثمّ تقيسم السبّورة قسمين: قسما لكتابة المفردات وآخر لكتابة متون المحفوظات.
وهذه الإسئلة: أ. الأسئلة عن مضمون الدرس.
ب. الأسئلة عن النقط المهمّة في هذا الدرس.
ج. حفظ المحفوظات.
د. الأمر بشرحها.
- العرض:
1- شرح الكلمات الغامضة على طريقة جديدة: تلفيظ كلّ كلمة ثمّ كتابتها على السبّورة ثمّ بيان معناها بوضعها في جملة مفيدة أو بوسائل الإيضاح.
2- تلخيص الدرس: أن يبيّنه بيتا فبيتا إن كانت المحفوظات نظما أو جزءا فجزءا إن كانت نثرا وحينئذ يجب على المدرّس أن يبيّنها بالجدّ والنشاط وبالوضوح وبالتشويقات ويربطها بدروس أخرى عند الإمكان. وعليه الاستنتاج أو أخذ النقط المهمّة وغرسها في نفوس تلاميذه. وحينئذ يجوز له التكرار لتكون قوّة التأثير أكيدة حتّى يكون أثره راسخا في أذهانهم. ثمّ ذكر متن المحفوظات التي سبق بيانها شفهيّا والوضوح وبسلاسة فيحاكيه جميع التلاميذ، ثمّ كتابتها على السبّورة بخطّ نسخي صحيح واضح ثمّ قراءتها مرّة. وهكذا يسير المدرّس في تلخيص الأبيات أو الأجزاء التالية.
3- قراءة المدرّس ما على السبّورة من الدرس مع ملاحظة من التلاميذ.
4- كتابة التلاميذ ما على السبّورة تحت إشراف المدرّس ثمّ قراءة المدرّس كشف الغياب.
5- أمر المدرّس بعض تلاميذه بقراءة كتابتهم مع الإصلاح من المدرّس.
6- يجوز للمدرّس أن يعطي تلامييذه فرصة للسؤال عمّا لم يفهموه من الدرس إذا رآه ضروريّا. ويجوز كذلك أن لايعضيهم هذه الفرصة لأنّهم يسفهمون دروسهم بعد القراءات المتوالية. ولأنّ إعطاء الفرصة لهم قد يؤدّي إلى الخسارة فبمثل هذا على المدرّس أن يكون حكيما.
7- أمر المدرّس تلاميذه بقراءة دروسهم صامتة كانت أم جهرة إعدادا لإجابة الأسئلة من المدرّس في التطبيق.
8- أمر المدرّس تلاميذه بإقفال كتبهم وكرّاساتهم للتطبيق وعليه أن يمسح المفردات المكتوبة على السبّورة.
- التطبيق:
1. الأسئلة عن مضمون الدرس.
ب. شرح التلاميذ بعض الأبيات.
ج. الاستنتاج/ أخذ النقط المهمّة من الدرس.
د. الأسئلة عن المفردات.
ه. الحفظ التدريجي والمحو التدريجي / عند الإمكان
- الاختتام:
الإرشادات والمواعظ وغرس النقط المهمّة في نفوس التلاميذ مرّة أخرى ثمّ خروج المدرّس من الفصل مع إلقاء السلام.
الحَثُّ عَلَى التَعَلُّمِ 1
وَالجَاهِلُ صَغِيْرٌ وَإِنْ كَانَ شَيْخًا # العَالِمُ كَبِيْرٌ وَإِنْ كَانَ حَدَثًا
وَلَيْسَ أَخُوْ عِلْمٍ كَمَنْ هُوَ جَاهِلُ # تَعَلَّمْ فَلَيْسَ المَرْءُ يُوْلَدُ عَالِمًا
صَغِيْرٌ إِذَا الْتَفَّتْ عَلَيْهِ المَحَافِلُ # وَإِنَّ كَبِيْرَ القَوْمِ لاَعِلْمَ عِنْدَهُ
المفردات:
: مثل من كمن : الأمر الحثّ
: اجتمعت التفّت : صغير السنّ حدث
: كبير السن شيخ : المجالس المحافل
الشرح:
1- إنّ ذا العلوم الكثيرة يعتبر كبيرا (يستطيع أن ينزل منزلة رجل كبير) ولو كان هذا الرجل شابّا صغير السنّ وضدّ ذلك أنّ الجاهل يعتبر صغيرا ولو كان كبير السنّ. ولهذا السبب يجب على كلّ فرد أن يتعلّم بجدّه ونشاطه منذ صغره إلى كبره كي يكون رجلا عالما ذا مهمّات.
2- يجب عليك أن تتعلّم بالجدّ والنشاط لأنّ الإنسان لا يولد وهو عالم وكذلك إنّ العالم ليس مثل الجاهل في جميع أموره.
3- إنّ رئيس القوم الذي لاعلم عنده يكون صغيرا إذا اجتمع مع هؤلاء العالمين في المحافل أو المجالس.
الخلاصة:
من هذه الأبيات الثلاثة نفهم أنّنا يجب علينا أن تتعلّم لأنّنا نرى
أهمّية العلوم لكّل فرد في جميع أموره وأحواله.
______________
أَدَبُ الْمُجَالَسَةِ 2
فَاجْلِسْ إِلَيْهِمْ بِالكَمَالِ مُؤَدَّبًا # إِنْ أَنْتَ جَالَسْتَ الرِجَالَ ذَوِي النُهَى
وَاجْعَلْ حَدِيْثَكَ إِنْ نَطَقْتَ مُهَذَّبًا # وَاسْمَعْ حَدِيْثَهُمْ إِذَا هُمْ حَدَّثُوْا
المفردات:
: عاملت : عاشرت جالست : المعاملة المجالسة
: مؤدّبا مهذّبا : تكلّمت نطقت
: ذوي العقول : العقلاء : العلماء ذوي النهى
الشرح:
1- إذا عاشرت هؤلاء العلماء أو العظماء فيجب عليك أن تعاشرهم بكمال الأدب، ولايجوز لك أن تعمل شيئا أمامهم بغير أدب ولا أخلاق كريمة.
2- ومن الأدب أنّهم إذا تكلّموا يجب عليك أن تستمع كلامهم استماعا جيّدا وإذا أردت أن تتكلّم أو أن تقول شيئا فيجب عليك أن تتكلّم كلاما حسنا أو قولا مهذّبا.
الخلاصة:
من هذين البيتين نرى أنّه يجب على كلّ فرد أن يكرم العلماء والرؤساء وأن يكون متخلّقا بأخلاق كريمة عند مجالستهم.
______________
الشَّرَفُ بِاْلأَدَبِ 3
إِنْ رُمْتَ تَعْرِفَهُ فَانْظُرْ إِلىَ الأَدَبِ # لاَتَنْظُرَنَّ ِلأَثْوَابٍ عَلَى أَحَدٍ
إِنْ لَمْ يَكُنْ فيِ فِعْلِهِ وَ الخَلاَئِقِ # وَمَا الحُسْنُ فيِ وَجْهِ الفَتَى شَرَفًا لَهُ
وَ لْيَنْظُرَنَّ إِلَى مَنْ دُوْنَهُ مَالاً # فَلْيَنْظُرَنَّ إِلىَ مَنْ فَوْقَهُ أَدَبًا
المفردات:
: الطبائع الخلائق : الشابّ الفتى
: الكرم الشرف : أردتَ رمتَ
: تحته دونه
الشرح:
1- إذا أردت أن تعرف شأن أحد أَ كريمٌ هو أم حقير، فانظر إلى أدبه وأحواله ولاتنظر إلى جمال أثوابه وحسن زينته، فإنّ قيمة كلّ إنسان بأدبه لا بلباسه.
2- اعلم أنّ حسن وجه الفتى لا يكون سببا لشرفه إذا لم يكن هذا الفتى حسَن الخلائق وطيّب الأعمال.
3- إذا أردت أن تكون رجلا حسن الأدب فعليك أن تنظر إلى من هو أحسن منك أدبا لتتبعه، وإلى من هو أقلّ منك مالا وإلى من كان أشدّ فقرا منك لتساعد فيزداد بذلك حسن أدبك.
الخلاصة:
من هذه الأبيات نرى أنّه يجب علي كلّ فرد من الناس أن يكون له أخلاق كريمة لأنّ الشرف لاينال إلاّ بالأخلاق الكريمة أو بالآداب الحسنة.
قَالَ اْلإِمَامُ الشَّافِعِي رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ 4
فَأَرْشَدَنِي إِلىَ تَرْكِ المَعَاصِيْ # شَكَوْتُ إِلىَ وَكِيْعٍ سُوْءَ حِفْظِي
وَنُوْرُ اللهِ لاَيُهْدَى لِعَاصِي # وَ أَخْبَرَنِيْ بِأَنَّ العِلْمَ نُوْرٌ
المفردات:
: هداني أرشدني : أظهرت : ذكرت شكوت
: صعوبتي في الحفظ سوء حفظي : مف. المعصية المعاصي
: يعطى يهدى : أستاذ الإمام الشافعي وكيع
الشرح:
1- قال الشافعي : إنّه شكا إلى أستاذه أنّه شعر بصعوبة الحفظ و أخيرا أرشده أستاذه و أمره بأن يترك المعاصي والذنوب.
2- وبيّن أستاذه بأنّ العلم نور، وأنّ العلم كمثل النور، ونور الله لا يعطى لمن يعمل المعاصي.
الخلاصة:
نعرف من هذين البيتين أنّ اجتناب ا لمعاصي أمر لازم على كلّ فرد، لأنّ المعاصي تزيل نور الله أو هداية الله، وتؤدّي إلى صعوبة التعلّم.
______________
الحَثُّ عَلَى التَعَلُّمِ 5
تَجَرَّعَ ذُلَّ الجَهْلِ طُوْلَ حَيَاتِهِ # مَنْ لَمْ يَذُقْ ذُلَّ التَعَلُّمِ سَاعَةً
فَكَبِّرْ عَلَيْهِ أَرْبَعًا لِوَفَاتِهِ # وَمَنْ فَاتَهُ التَعْلِيْمُ وَقْتَ شَبَابِهِ
إِذَا لَمْ يَكُوْنَا لاَ اعْتِبَارَ لِذَاتِهِ # حَيَاةُ الفَتَى وَاللهِ بِالعِلْمِ وَالتُقَى
المفردات:
: مشقّة التعلّم ذلّ التعلّم : يشعر يذوق
: حقارة الجهل ذلّ الجهل : تركه فاته
: التقوى التقى : شعر : شرب تجرّع
: لا قيمة لا اعتبار
الشرح:
1- من لم يشعر قطّ بصعوبة التعلّم وبمشقّته فلا بدّ له من أن يكون جاهلا و سيشعر عاقبة جهله طول عمره.
2- ومن لم يتعلّم وقت صغره ولم ينتهزْ فرصه لطلب العلم فاعتبر أنّه مات ولا حياة له لعدم المنافع التي ترجى منه.
3- اعلم أنّ الفتى يعتبر أنّه يحيى حياة حقيقيّة إذا اتّصف بالعلم والتقى. ولا اعتبار لحياته إذا لم تكن هاتان الصفتان في نفسه.
الخلاصة:
من هذه الأبيات الثلاثة نعلم أنّ البيت الأوّل يبيّن أهمّية العلم ومضرّة الجهل.
والثاني يبيّن أنّ أحسن أوقات التعلّم هو وقت الشباب.
والثالث يبيّن أنّ الحياة لابدّ من أن تكون مؤسسة على العلم والتقى. فيجب على كلّ فرد منّا التعلّم وتقوى الله.
______________
حَقّ اْلوَالِدَيْنِ 6
بَعْدَ حَقِّ اللهِ فيِ الاِحْتِرَامِ # إِنَّ لِلْوَالِدَيْنِ حَقًّا عَلَيْنَا
فَاسْتَحَقَّا نِهَايَةَ الإِكْرَامِ # أَوْجَدَانَا وَرَبَّيَانَا صَغِيْرًا
المفردات:
: هذّبانا ربّيانا : جعلانا موجودين أوجدانا
: غاية نهاية : استوجب : استأهل استحقّ
: الاحترام الإكرام
الشرح:
1- يجب على كلّ واحد منّا أن يحترم والديه لأنّ الوالدين لهما حقّ في الاحترام بعد حقّ الله عليه.
2- وهما اللذان صارا وسيلة لوجودنا في هذه الدنيا و هما اللذان ربّيانا تربية حقيقيّة منذ صغرنا وهما اللذان اشتغلا لأجل أهمّيتنا، ولهذه الأسباب لهما حقّ بأن نحترمهما غاية الاحترام.
الخلاصة:
يجب على كلّ فرد منّا احترام الوالدين لأنّهما سبب لوجودنا ومسؤولان في تربيتنا منذ صغرنا إلى كبرنا.
______________
التَّوَاضُعُ (1) 7
فَإِنَّ رَفِيْعَ القَوْمِ مَنْ يَتَوَاضَعُ # تَوَاضَعْ إِذَا مَا نِلْتَ فيِ النَاسِ رِفْعَةً
فَإِنَّ اتِضَاعَ المَرْءِ مِنْ شِيَمِ العَقْلِ # تَوَاضَعْ إِذَا مَا كَانَ قَدْرُكَ عَالِيًا
المفردات:
: مرتبة رفعة : ضدّ التكبّر التواضع
: قيمتك قدرك : كبير القوم: شريف القوم رفيع القوم
: تذلّل اتضاع : مف. شيْمَةٌ: صفة شِيَمٌ
الشرح:
1- يجب عليك أن تكون متواضعا بين الناس لاسيّما إذا نلت درجة عالية بينهم لأنّ أعلى الناس درجة هو الذي يريد أن يتواضع ولا يكون متكبّرا.
2- يجب عليك أن تتواضع إذا كانت منزلتك عالية لأنّ التواضع من عادات العقلاء ومن صفات العظماء.
الخلاصة:
يجب على كلّ فرد أن يتواضع خصوصا إذا نال درجة عالية لأنّ التواضع من طبيعة العقلاء.
______________
التَّوَاضُعُ (2) 8
عَلَى صَفَحَاتِ المَاءِ وَهُوَ رَفِيْعُ # تَوَاضَعْ تَكُنْ كَالنَجْمِ لاَحَ لِنَاظِرٍ
إِلىَ طَبَقَاتِ الجَوِّ وَهُوَ وَضِيْعُ # وَلاَ تَكُنْ كَالدُخَانِ يَعْلُو بِنَفْسِهِ
المفردات:
: عالٍ رفيع أوجه صفحات: : ظهر لاح
: يرتفع يعلو : حقير : دنيء وضيع
الشرح:
1- كن متواضعا، وإذا كنت متواضعا فتكون كالنجم الذي رآه أحد كأنّه تحت الماء ولكنّ الواقع أنّه في مكان مرتفع، أي أنّك إذا تواضعت في معاشرتك مع الناس ولا تفرّق بين الغني والفقير ولا بين الشريف والحقير فأنت تستطيع أن تنال المرتبة العالية.
2- ولا تتكبّر فإنّ مثل المتكبّر كمثل الدخان الذي يرتفع بنفسه إلى جوّ السماء ولكن الواقع أنّه لايستطيع الوصول إلى مكان مرتفع. وكذلك شأن المتكبّر الذي لا يريد أن يعاشر إلاّ العظماء والأغنياء دون غيرهم فإنّه لايكون شريفا أو عظيما بل سقط بعمله هذا إلى هوّة الدناءة والحقارة.
الخلاصة:
1- عليك أن تتواضع في معاشرتك مع الناس فإنّك بتواضعك تستطيع أن تنال الدرجة العالية.
2- لايجوز لك أن تتكبّر بين الناس، فإنّ تكبّرك يؤدّي إلى سقوط مرتبتك.
______________
الصِّدْقُ 9
تَكْذِبْ فَأَقْبَحُ مَا يُزْرِي بِكَ الكَذِبُ # عَلَيْكَ بِالصِدْقِ فيِ كُلِّ الأُمُوْرِ لاَ
أَوْ عَادَةِ السُوْءِ أَوْ مِنْ قِلَّةِ الأَدَبِ # لاَ يَكْذِبُ المَرْءُ إِلاَّ مِنْ مَهَانَتِهِ
المفردات:
: دناءة مهانة :يعيب يزري
الشرح:
1- يجب عليك أن تكون صادقا في كلامك بل في جميع الأمور ولا يجوز لك أن تكون كاذبا، لأنّ أقبح صفة يتّصف بها الإنسان هو الكذب.
2- لايكون المرء كذبا إلاّ بسبب حقارته أو دناءته أو قبح أعماله أو بطبائعه السيّئة أو بسبب قلّة الأدب.
الخلاصة:
يجب على كلّ واحد منّا أن يكون صادقا و أن يجتنب الكذب لأنّ الكذب دليل على المهانة أو قلّة الأدب.
______________
النَّصِيْحَةُ 10
وَتَخَلَّقَنَّ بِأَشْرَفِ العَادَاتِ # اُسْلُكْ بُنَيَّ مَنَاهِجَ السَادَاتِ
مِنْهُ الأَجَلَّ ِلأَوْجُهِ الصَدَقَاتِ # وَإِذَا اتَّسَعْتَ بِرِزْقِ رَبِّكَ فَاجْعَلَنْ
المفردات:
: مف. منهج: طريق مناهج : سِرْ : مرّ اسلك
: الأكبر: الأكثر الأجلُّ : مف.السائد: السادات
: جهات أوجه : المجيد : الشريف
: كنت واسع الرزق اتسعت برزق
الشرح:
1- يا بنيّ افعل كما فعل هؤلاء الأشراف وعوّد نفسك بالعادات الشريفة ولا تتعوّد بالعادات السيّئة.
2- وإذا وجدت رزقا واسعا من ربّك فخذ القسم الأكبر من هذا الرزق لأجل الصدقات لمساعدة الفقراء أو المساكين وغيرهم.
الخلاصة:
البيت الأوّل يأمرنا بأن نتعوّد بالأخلاق الحسنة.
البيت الثاني يأمرنا بأن نتصدّق كثيرا إذا وجدنا رزقا كثيرا من الله تعالى.
______________
بِقَدْرِ مَا تَعْتَنِيْ تَنَالُ مَا تَتَمَنَّى 11
وَمَنْ طَلَبَ العُلىَ سَهِرَ اللَّيَالِ # بِقَدْرِ الكَدِّ تُكْتَسَبُ المَعَاليِ
أَضَاعَ العُمْرَ فيِ طَلَبِ المُحَالِ # وَمَنْ طَلَبَ العُلَى مِنْ غَيْرِ كَدٍّ
المفردات:
: تطلب : تنال تكتسب : بحسب بقدر
: الشرف : الرفعة العلى : مف. معلاة: الشرف المعالي
: أزال ــِـ أضاع ــِـ : ما نام ليلا سهر
: تريد : تتأمّل تتمنّى : الشيء المستحيل المحال
: تهتمّ تعتني
الشرح:
1- إنّك تستطيع أن تنال ما ترجوه بقدر اهتمامك به فلا يمكن أن تنال المعالى أو الدرحة العالية إلا بقدر الجدّ في العمل والسعي أي أنّه إذا جدّ أحدٌ واجتهد كثيرا نال أكثر ممّن لايكون مجدّا في سعيه. ومن أراد أن ينال الرفعة وجب عليه أن يسعى بجهده ليلا ونهارا و ألاّ يضيع أوقاته فارغة.
2- ومن أراد أن يبلغ المنزلة العالية أو أراد أن يصل إلى غرضه من غير عمل ولا سعي فإنّ هذا الرجل لن يصل إلى غرضه بل يضيع وقته وعمره في طلب شيء مستحيل.
الخلاصة:
البيت الأوّل أو الثاني يأمرنا بالجد في السعي والعمل في طلب الدرجة العالية لأنّ الدرجة العالية لن ينال إلاّ بالجد.
______________
الكَشَّافَةُ 12
مِنْ وَاجِبِيْ الإِسْعَافُ # أَناَ الفَتَى الكَشَّــافُ
لِخِدْمَــةِ العِبَـــادِ # أَسْعَى بِكُلِّ جُهْدِيْ
بِلاَ انْتِظَــارِ مُهْـلِ # أَخْدُمُ كُلَّ أَهْلِـــي
مِنْ وَاجِبِ الإِنْسَــانِ # فَخِدْمَةُ الأَوْطَـــانِ
المفردات:
: إعطاء المساعدة الإسعاف : الشباب الحدث الفتى
: لمساعدة الأمّة لخدمة العباد : قوّتي : طاقتي جهدي
: جزاء : أجر مهل : عشيرتي: أقرباء أهلي
الشرح:
1- أنا شاب قوي الجسم و أنا الكشّاف فيجب عليّ المساعدة أي أن أساعد غيري بقدر استطاعتي.
2- أنا أسعى بكلّ جهدي و أعمل بكلّ طاقتي لأهمّية العباد أو لأهمّية المجتمع.
3- أعمل بالإخلاص لأن أكون مساعدا لأهلي ولأقربائي لأصدقائي و لا أنتظر الأجرة منهم.
4- يجب علىكلّ إنسان خدمةُ وطنهِ بأن يجعل وطنه متقدّما آمنا مطمئنّا.
الخلاصة:
هذه الأبيات الأربعة تأمرنا بأن نسعى بكلّ جهدها وبخلوص نيّتنا لأجل أهميّة الأهل و الوطن.
______________
المُقْتَطَفَاتُ (1) 13
نَدِمْتَ عَلَى التَفْرِيْطِ فيِ زَمَنِ البَذْرِ # إِنْ أَنْتَ لَمْ تَزْرَعْ وَأَبْصَرْتَ حَاصِدًا
فَإِنَّ المَعَاصِــي تُزِيْلُ النِعـَمَ # وَإِذَا كُنْتَ فيِ نِعْمــَةٍ فَارْعَهَـا
المفردات:
: الإهمال التفريط : رأيت أبصرت
: احفظ ارعَ : وقت الزرع زمن البذر
: تضيع تزيل : مف. المعصية المعاصي
الشرح:
1- إذا لم تزرع شيئا من الزروع و رأيت بعدئذ رجلا حصد نتائج زرعه شعرت بالندامة على إهمالك في وقت الزرع أي أنّ الإنسان إذا لم يعمل عملا خيرا بل ترك وقته فارغا سيندم ندامة شديدة بسبب إهماله ويظهر ذلك عندما رأى رجلا آخر ينال نتيجة عمله.
2- إذا وجدت نعمة من الله تعالى وجب عليك أن ترعاها أي تحفظها و ذلك بانتفاعها في الخيرات دون المعاصي، لأنّ المعاصي تؤدّي إلى زوال النعم.
الخلاصة:
البيت الأوّل بأمرنا بانتهاز الفرصة للأعمال الصالحة وينهانا عن التفريط.
والبيت الثاني يأمرنا بحفظ النعمة بانتفاعها في الخيرات دون المعاصي.
______________
الصَّبْرُ 14
لكِنَّ عَوَاقِبَهُ أَحْلىَ مِنَ العَسَلِ # الصَبْرُ كَالصَبِرِ مُرٌّ فيِ مَذَاقَتِهِ
وَصَبُوْرًا إِذَا أَتَتْكَ مُصِيْبَةٌ # كُنْ حَلِيْمًا إِذَا بُلِيْتَ بِغَيْظٍ
المفردات:
: طعم مذاقة : عصارة شجرة مرّة الصبِرُ
: صابر حليم : مف. العاقبة العواقب
: غضب غيظ : امتحنت بليت
: كثير الصبر صبورا
الشرح:
1- الصبر عمل شاقّ و عمل مُرٌّ مثله كمثل الصبِرِ ولكن نتائجه ألذّ وأشدّ حلاوة من العسل، ولذلك يجب عليك أن تصبر في كلّ الأمور ولوكان الصبر شاقّا (شديدا) وذوقه مرّا، لأنّ الصبر يحملك إلى النجاح والحياة السعيدة.
2- يجب عليك أن تكون صابرا إذا وجدت غضبا من غيرك لعل صبرك يحملك إلى النجاح كما يجب أن تكون صابرا إذا أصابتك مصيبة فإنّ أحسن طرق تمرّ عليه لمقابلة المصائب هو الصبر.
الخلاصة:
يجب عليك أن تصبر في جميع الأمور ولو كان الصبر مرّا لأنّ الصبر يأتيك بحياتك السعادة. وهو أحسن سلاح لمقابلة المصائب.
______________
الاِقْتِصَادُ 15
تُسْرِفْ وَعِشْ عَيْشَ مُقْتَصِدٍ # أَنْفِقْ عَلَى قَدْرِ مَا اسْتَطَعْتَ وَلاَ
لَمْ يَفْتَقِرْ بَعْدَهَا إِلىَ أَحَدٍ # مَنْ كَانَ فِيْمَا اسْتَفَادَ مُقْتَصِدًا
المفردات:
: صرّف : بذّلْ أنفق >< النقص الفضل
: اترك دع : المتّبع المقتدي
: يفيدك يعنيك
الشرح:
1- إنّ الفضل للمبتدئ أو لمن اخترع شيئا جديدا في أيّ أمر ولو كان من يأتي بعده ويواصل عمله يحسّنه ويصلحه ويأتي بما هو أحسن منه، ولذلك لايجوز لك أن تلوم (تختقر) من اخترح شيئا ولو لم يكن كاملا.
2- إذا أردت أن تطلب شيئا من الجزاء فلايجوز لك أن تطلب أكثر ممّا عملت، لأنّك إذا فعلت ذلك فأنت ملوم لأنّك تطلب شيئا ليس حقّك، فلا يجوز لك ذلك.
3- لايجوز لك الكلام إلاّ ما يفيدك ويكون مهمّا لك ومع ذلك فلا يجوز لك الكلام ولو كان نافعا أو مهمّا لك حتّى تجد موضعا لائقا أو حالاً مناسبا لكلامك.
الخلاصة:
1- لايجوز لأحد أن يشعر بأنّه أفضل من المبتدئين أو المخترعين لشيء جديد ولو قام بإصلاحه وإكماله، فإنّ الفضل بيد المبتدئين.
2- لايجوز لك أن تطلب جزاء أكثر من قيمة عملك.
3- عليك أن تترك الكلام الذي لايفيدك. وأن لاتتكلّم كلاما مفيدا إلاّ إذا وجدت موضعا مناسبا.
______________
الحِكَمُ وَالأَمْثَالُ السَائِرَةُ (3) 25
1- الوَقْتُ كَالسَيْفِ فَإِنْ لَمْ تَقْطَعْهُ قَطَعَكَ.
2- لاَتَشْرَبِ السُمَّ إِتِّكَالاً عَلَى مَا عِنْدَكَ مِنَ التِرْيَاقِ.
3- إِذَا أَحْبَبْتَ امْتِلاَكَ شَيْءٍ فَلاَ تُلِحَّ فيِ طَلَبِهِ.
4- إِنَّ الشَبَابَ وَالفَرَاغَ وَالجِدَةَ مَفْسَدَةٌ لِلْمَرْءِ أَيَّ مَفْسَدَةٍ.
5- رُبَّ لَفْظٍ أَفْقَدَتِ الصُحْبَةَ وَالإِخَاءَ.
المفردات:
: دواء لدفع السمّ الترياق : اعتمادا اتّكالا
: كثيرا ما ربّ : تكرّر تلحّ
: الأخوّة الإخاء : كلمة لفظة
الشرح:
1- مثل الوقت كمثل السيف فإنّ السيف إذا استعملناه بما ينفعنا وفي موضعه المناسب فإنّه ينفعنا كثيرا ولكنّه إن لم يستعمله فإنّه يضرّنا، كذلك إذا لم ننتهز أوقاتنا وفرصتنا ونملأها بالأعمال النافعة سيقطعنا ذلك الوقت بِخَيْبَةٍ من الأمل، فلذلك يجب علينا أن ننتهز الفرصة والأوقات لئلاّ نكون من الخاسرين الخائبين.
2- لايجوز لنا أن تشرب السمّ اعتمادا على أنّنا عندنا الترياق أو الدواء الذي يزيل ضرر هذا السمّ، والمراد من هذا المثل: لايجوز لأحد منّا أن يجرّب في أن يعمل عملا مضرّا أو يتقرّب من الذنوب أو الكبائر اعتمادا على أنّه قويّ الإيمان كثير الأعمال الصالحات حيث إذا ارتكب قليلا من المعاصي فلا بأس به. فإنّ هذا الرأي باطل يجب الاجتناب عنه.
3- إذا أردت أن تستحقّ شيئا وكان هذا الشيء لم يكن في يدك بل في يد غيرك مثلا فلا يجوز لك أن تكرّر في طلبه لأنّك إذا عملت ذلك فلاتستطيع أن تنال ممّا أحببته.
4- إنّ الذي يؤدّي إلى فساد المرء ويوقعه في ضرر هو:
ا- وقت الشباب
بـ- الفراغ من الأعمال
ج- كثرة الأموال
ولذلك يجب علينا أن نهتمّ بوقت شبابنا بأن ننتهز الوقت بالأعمال النافعة لمستقبل حياتنا وكذلك يلزم لنا أن نملأ أوقات فراغنا بما يفيدنا لئلاّ نقع في فساد أو في ضرر، وأن نستعمل أموالنا في الأمور النافعة، لأنّنا إذا لم نستعمل وقت الشباب والفراغ والأموال فيما يفيدنا فبهذه الثلاثة تحملنا إلى مفاسد عظيمة، فإنّ هذه الثلاثة هي من آفات الحياة.
5- كثيرا ما وقع أنّ لفظة واحدة أو كلمة واحدة قد تؤدّي إلى فساد المصاحبة والأخوّة متى كانت هذه اللفظة خرجت من اللسان من غير تفكير، ولذلك يجب على كلّ واحد أن يحفظ لسانه وألاّ يتكلّم كلاما إلاّ بعد التفكير العميق حتّى لاينزلق في كلامه.
الخلاصة:
1- يجب عليك انتهاز الفرضة لأمور نافعة لمستقبلك لأنّك إذا تركتها تمرّ من غير فائدة تندم طول حياتك لوقوعك في خيبة وخسران.
2- لايجوز لك أن تجرّب أعمالا مضرّة أو تقترف ذنبا اعتمادا على أنّك تستطيع أن تسلم نفسك من الضرر بما عندك من المزايا أو ا لفضائل.
3- لايجوز لك أن تلحّ طلب شيء محبوب عندك.
4- عليك أن تحذّر الأمور الثلاثة التي تضرّ الناس كثيرا وهي الشباب والفراغ والجدة. فإنّ هذه الثلاثة تأتي بفائدة كثيرة إذا انتفعتها وتضرّك إذا تركتها سدى.
5- يجب على كلّ إنسان أن يحتاط في كلامه وألاّ يتكلّم بغير تفكير. فإنّ لفظة واحدة قد تؤدّي إلى فساد الأخوّة.
______________
الحِكَمُ وَالأَمْثَالُ السَائِرَةُ (4) 26
1- إِنَّ فيِ يَدِ الشُبَّانِ أَمْرَ الأُمَّةِ وَفيِ إِقْدَامِهَا حَيَاتَهَا.
2- النَاسُ مِنْ خَوْفِ الذُلِّ فيِ الذُلِّ وَالنَاسُ مِنْ خَوْفِ الخَطَأِ فيِ الخَطَأِ.
3- خَيْرُ الأُمُوْرِ أَوْسَطُهَا.
4- لَيْسَ الخَبَرُ كَالمُعَايَنَةِ.
5- مَصَائِبُ قَوْمٍ عِنْدَ قَوْمٍ فَوَائِدُ.
المفردات:
: المشاهدة المعاينة : شجاعة إقدام
مف. مصيبة مصائب
الشرح:
1- إنّ الشباب لهم مسؤوليّة كبيرة في شؤون الأمّة، شجاعة الشباب وإقدامهم وتقدّمهم وكفاءتهم هي التي تؤدّي إلى حياة الأمّة، ولذلك يجب على كلّ شابّ من شباب الشعب والأمّة أن يسعى بجهده وشجاعته لأهمية الأمّة ولتقدّمها في جميع نواحي الأمور.
2- يجب على كلّ واحد أن يسعى سعيا ولايجوز له أن يخاف من الوقوع في الذلّ لأنّ الخوف من الذلّ يؤدّي إلى وقوع في الذلّ وكذلك لايجوز لأحد أن يخاف من أن يعمل عملا لاعتقاد أنّه سيقع في الخطأ لأنّ الخوف من الخطأ نوع من الخطأ.
3- خير الأمور ما يكون وسطا ويكون معتدلا أي لايتجاوز عن الحدّ حتّى لايكون المرء بخيلا ولا مبذّرا ولايكون طامعا في المال ولايكون زاهدا فيه ولايكون مشغولا بدنياه ناسيا عن آخرته بالعكس. وهكذا . . .
4- معرفة المرء شيئا وفهمه بمجرّد سماع الخير من غيره ليس أحسن ممّا شاهده هو بنفسه أو بعينه ولذلك إذا أراد أحد أن يعرف شيئا تمام المعرفة أن لايقنع بمجرّد سماع الخبر من غيره، بل لابدّ له من مشاهدته ونظره بنفسه.
5- إذا وقعت المصائب أو البلايا على قوم فإنّ هذه المصائب قد تأتي بفوائد لقوم آخرين لأنّها تكون عبرة لهم بعد أن رأوا وقوع هذه المصائب عليهم كزيادة إيمانهم بالله أو توكّلهم عليه أو زيادة جدّهم في العمل أو احتياطهم في الحياة.
الخلاصة:
1- يجب على كلّ شعب تربية شبّانهم تربية صحيحة لأنّ أمر الأمّة في أيدي شبّانهم وحياة الأمّة في إقدامهم.
2- لايجوز لأحد أن يقف عن السعي خوفا من الذلّ والخطأ. لأنّ الذي يخاف عن الخطأ والذلّ وقع فيهما.
3- أحسن الأمور ما يكون وسطا ويكون على حدّ الاعتدال فلايجوز لنا التجاوز عن الحدّ في جميع الأمور.
4- معرفة الأمور بالمعاينة أدقّ من معرفتها بالخبر. فيلزمك إذا أردت معرفة شيء بدقّة أن تشاهده عيانا.
5- اعلم أنّ المصائب التي تصيب قوما لابدّ لها من الحكمة أو الفوائد للآخرين، فعليك أن تعتبرها.
______________
الرِحْلَةُ فيِ طَلَبِ الغِنَى 27
شَكَا الفَقْرَ أَوْ لاَمَ الصَدِيْقَ فَأَكْثَرَ # إِذَا المَرْءُ لَمْ يَطْلُبْ مَعَاشًا لِنَفْسِهِ
تَعِشْ ذَا يَسَارٍ أَوْ تَمُوْتَ فَتُعْذَرَ # فَسِرْ فيِ بِلاَدِ اللهِ وَالْتَمِسِ الغِنَى
وَكَيْفَ يَنَامُ مَنْ كَانَ مُعْسِرًا # وَلاَ تَرْضَ مِنْ عَيْشٍ بِدُوْنٍ وَلاَتَنَمْ
المفردات:
: ما نعيش به من الطعام والشراب معاشا
: ذا سهولة : غنيّا ذا يسار : عاب لام
: مفتقر : محتاج معسر : اطلبْ اِلتمسْ
الشرح:
1- إذا كان المرء لايرد أن يشتغل طلبا للمعيشة فإنّه سيقع فيشكو فقره إلى غيره وشعر بضيق عيشه وإذا وقع في فقر وطلب المساعدة من صديقه وهو لايريد أن يساعده فأخيرا يلومه كثيرا. ولذلك يجب على كلّ واحد أن يشتغل جهده وينتهز فرصته لأجل طلب الرزق حتّى لايقع في فقر ولا ندامة.
2- إذا لم تجد في بلادك مجالا لطلب الرزق فعليك أن تسافر إلى مكان آخر حتّى تجد مكانا مناسبا لك لطلب الرزق لأنّ بلاد الله واسعة، وإذا أردت أن تكون مثل ذلك في السعي والعمل استطعت أن تعيش أن تعيش غنيّا وإذا متَّ في أثناء سعيك فلا تكون ملوما أو معيبا.
3- لايجوز لك أن تقنع بعيش حقير أو أن تقع في فقر ولايجوز لك أن تنام من غير سعي بل الواجب عليك إذا وقعتَ في مثل هذا العيش أن تشتغل وأن تسعى بجهدك وجميع طاقتك ليلا ونهارا حتّى ولو لم تنم وكيف ينام بدون الشغل من كان فقيرا.
الخلاصة:
1- البيت الأوّل يبيّن أنّ الكسل يؤدّي إلى الفقر وأنّ الفقر مضرّ للفقير ولغيره، فالواجب على كلّ واحد منّا الجدّ في العمل طلبا للرزق.
2- البيت الثاني يأمرنا بأن نسافر إذا لم نجد في بلادنا مجالا لطلب الرزق. وإذا كان مثل ذلك في السعي استطعنا أن نكون أغنياء ولاتكون ملومين إذا متنا.
3- البيت الثالث ينهانا عن أن ننام بدون شغل لاسيّما عندما كنّا نعيش في ذلّ وحقارة.
______________
لِعَمْرُو بْنِ الوُرْدِ المُتَوَفَّى سَنَةَ 749 هـ 28
أَبْعَدَ الخَيْرَ عَلىَ أَهْلِ الكَسَلِ # اُطْلُبِ العِلْمَ فَلاَتَكْسَلْ فَمَا
كُلُّ مَنْ سَارَ عَلَى الدَرْبِ وَصَلَ # وَلاَتَقُلْ قَدْ ذَهَبَتْ أَرْبَابُهُ
إِنَّمَا أَصْلُ الفَتَى مَا قَدْ حَصَلَ # لاَتَقُلْ أَصْلِي وَفَصْلِي أَبَدًا
المفردات:
: منزلتي فصلي مف. ربّ : أصحاب أرباب
: العلماء أرباب العلم : نسبي أصلي
الشرح:
1- يجب عليك أن تطلب العلم مدّة حياتك خصوصا في وقت الصغر، ولايجوز لك أن تتكاسل وتضيع أوقاتك الثمينة من غير فائدة. اعلم أنّ خير الدنيا والآخرة مع العلم ومن المستحيل أن ينال الكسلان العلوم والخيرات.
2- وإذا لم تجد معلّما يعلّمك فلا تيأس من طلب العلم ولايجوز لك أن تقول "إنّي لم أجد من يعلّمني فلا أتعلّم بل الواجب عليك أن تسعى بجدّك حتّى تجد معلّما يعلّمك العلوم الكثيرة ولو أن تذهب إلى بلد آخر لأنّ من سار على الدرب وصل إلى من جدّ وسار في طريقه نال ما أراده.
3- لايجوز لك أن تعتمد على أصلك أن تفتخر بآبائك وأقربائك ولو كانوا من العظماء، كأنْ تقول "إنّ أبي رجل عظيم أو أنّي من سلالة العظماء" كما لايجوز لك كذلك أن تتكبّر بفصلك أو درجتك ولو كانت درجتك عالية كأن تقول "إنّي في مرتبة عالية في المجتمع" لأنّ قيمة الفتى على قدر ما حصل عليه من الأعمال. أو أنّ الذي يقرّر درجة الفتى هو أعماله وأحواله دون غيرها.
الخلاصة:
1- البيت الأوّل يأمرنا بطلب العلم وينهانا عن الكسل لأنّ الكسل يبعدنا عن الخير.
2- البيت الثاني ينهانا عن اليأس في طلب العلم والوقوف عن التعلّم عندما لم نجد معلّما. بل الواجب الاستمرار في السعي.
3- البيت الثالث ينهانا عن التفخّر والتكبّر بالآباء ومرتبتهم العالية لأنّ كلّ إنسان بأعماله

Read more...

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP