Freelance Jobs CO.CC:Free Domain

Rabu, 08 Juni 2011

Adab menghitbah

Adab menghitbah adalah tulisan pertama saya yang berkaitan dengan fiqih, setelah beberapa tulisan saya terdahulu yang berkaitan dengan sains dan realita kehidupan, pada kesempatan ini saya mencoba mengulas tentang fiqih meminang (khitbah).

Dari sebuah situs jejaring sosial, saya membaca sebuah judul artikel yang menarik, “Khitbahlah Wanita yang Engkau Kagumi“. Sekilas judul tersebut mengisyaratkan kepada seorang laki-laki yang apabila ia mengagumi kepribadian seorang perempuan, dalam hal ini adalah karena kebaikan agama dan akhlak seorang perempuan, maka dia diperbolehkan mengkhitbah atau meminang perempuan tersebut.
Bagi para pemuda yang ingin mengkhitbah wanita yang dicintainya, perlunya diketahui lebih dahulu pengertian khitbah (melamar / meminang). Dalam kitab Al-Khitbah Ahkam wa Adab karya Syaikh Nada Abu Ahmad hal. 1, pada bab Definisi Khitbah (Ta’rif Khitbah), diterangkan pengertian syar’i (al-ma’na asy- yar’i) dari khitbah sebagai berikut.
التماس الخاطب النكاح من المخطوبة أو من وليها
“[Khitbah adalah] permintaan menikah dari pihak laki-laki yang mengkhitbah kepada perempuan yang akan dikhitbah atau kepada wali perempuan itu.” (Mughni Al-Muhtaj, 3/135).
Secara umum, kegiatan pelamaran ini dilakukan oleh pihak lelaki kepada pihak wanita, walaupun boleh bagi wali wanita untuk menawarkan walinya kepada seorang lelaki yang dianggap pantas dan baik agamanya. Hal ini sebagaimana dalam kejadian yang terjadi antara tiga manusia terbaik umat ini setelah nabinya, ‘Abdullah bin ‘Umar -radhiallahu ‘anhuma bercerita:
Tatkala Hafshah bintu ‘Umar ditinggal mati oleh suaminya yang bernama Khunais bin Hudzafah As-Sahmy -beliau termasuk sahabat Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- yang wafat di Medinah-, maka ‘Umar ibnul Khoththob berkata, “Saya mendatangi ‘Utsman bin ‘Affan lalu saya menawarkan Hafshah kepadanya, maka dia menjawab, “Saya pertimbangkan dulu”, maka sayapun menunggu hingga beberapa malam lalu dia mendatangiku dan berkata, “Telah saya putuskan, saya tidak mau dulu menikah pada saat-saat ini”. Kemudian saya menemui Abu Bakr dan berkata, “Jika engkau mau saya akan menikahkan engkau dengan Hafshah bintu ‘Umar”, maka Abu Bakr diam dan tidak membalas tawaranku, dan sikapnya itu lebih berpengaruh padaku daripada penolakan ‘Utsman. Maka sayapun menunggu selama beberapa malam dan akhirnya Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- melamarnya (hafshah) maka sayapun menikahkannya dengan beliau”.
Jadi, seseorang boleh menawarkan putrinya atau saudara perempuannya untuk dinikahi seorang laki-laki yang shalih.
Seorang laki-laki boleh hukumnya mengkhitbah perempuan secara langsung kepadanya tanpa melalui walinya. Boleh juga laki-laki tersebut mengkhitbah perempuan tersebut melalui wali perempuan itu. Dua-duanya dibolehkan secara syar’i dan dua-duanya termasuk dalam pengertian khitbah. Keduanya dibolehkan karena terdapat dalil-dalil As-Sunnah yang menunjukkan kebolehannya.
Dalil bolehnya laki-laki mengkhitbah perempuan secara langsung tanpa melalui walinya, adalah hadits riwayat Ummu Salamah RA, bahwa dia berkata :
“Ketika Abu Salamah meninggal, Rasulullah SAW mengutus Hathib bin Abi Baltha’ah kepadaku untuk mengkhitbahku bagi Rasulullah SAW…” (Arab : lamma maata Abu Salamata arsala ilayya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallama Haathiba ‘bna Abi Balta’ah yakhthubuniy lahu shallallahu ‘alaihi wa sallama). (HR Muslim).
Berdasarkan hadits tersebut dapat diketahui bahwa Rasulullah SAW langsung mengkhitbah Ummu Salamah RA, bukan mengkhitbah melalui wali Ummu Salamah RA.
Sedang dalil bolehnya laki-laki mengkhitbah perempuan melalui walinya, adalah hadits riwayat Urwah bin Az-Zubair RA, dia berkata :
“Bahwa Nabi SAW telah mengkhitbah ‘Aisyah RA melalui Abu Bakar Ash-Shiddiq RA…” (Arab : anna an-nabiyya shallallahu ‘alaihi wa sallama khathaba ‘A’isyata radhiyallahu ‘anhaa ilaa Abi Bakrin radhiyallahu ‘anhu) (HR Bukhari).
Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa Rasulullah SAW telah mengkhitbah ‘Aisyah RA melalui walinya, yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq RA.
Disamping itu, seorang lelaki diperbolehkan meminang (mengkhitbah) seorang perempuan dengan mewakilkannya pada orang lain, sebagaimana diperbolehkannya Ia meminang sendiri perempuan yang Ia cintai.
Dan boleh juga bagi seorang wanita untuk menawarkan dirinya kepada lelaki yang sholeh dan memiliki kemuliaan agar lelaki tersebut mendatangi orang tuanya (wanita tersebut) untuk melamarnya.
Dari Anas Bin Malik R.A berkata:“Seorang wanita datang kepada Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan menawarkan dirinya kepada beliau (untuk dinikahi) …”
Namun hendaknya yang demikian ini tidak dilakukan oleh seorang wanita karena beberapa alasan yaitu :
1. Membuka pintu-pintu percakapan yang tidak bermanfaat -bahkan mengarah kepada kefajiran- yang berkepanjangan dan berlanjut antara seorang wanita dan lelaki yang bukan mahramnya, baik secara langsung, lewat telepon, sms, email dan selainnya. Disinilah awal kerusakan akan muncul.
2. Seorang wanita akan merendahkan dan melembutkan suaranya ketika berbicara dengan laki-laki
3. Ketika penawaran seorang wanita diterima oleh lelaki tapi ditolak oleh wali dari lelaki tersebut maka biasanya mereka tetap melakukan komunikasi karena sudah adanya keterikatan hati antara keduanya dengan adanya penawaran tersebut, na’udzu billahi min dzalik.
Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi membuat segalanya menjadi mudah, sehingga muncul pertanyaan, Bolehkah mengkhitbah melalui sms, telpon, e-mail, dan lainnya? Secara tidak sengaja, saya menemukan artikel tersebut dan saya berusaha meng-share-kan di web pribadi saya ini.
Boleh hukumnya mengkhitbah (melamar) lewat SMS atau media komunikasi yang lain, karena ini termasuk mengkhitbah lewat tulisan (kitabah) yang secara syar’i sama dengan khitbah lewat ucapan. Kaidah fikih menyatakan : al-kitabah ka al-khithab (tulisan itu kedudukannya sama dengan ucapan/lisan). (Wahbah Az-Zuhaili, Ushul Al-Fiqh Al-Islami, 2/860).
Kaidah itu berarti bahwa suatu pernyataan, akad, perjanjian, dan semisalnya, yang berbentuk tulisan (kitabah) kekuatan
hukumnya sama dengan apa yang diucapkan dengan lisan (khithab). Penerapan kaidah fikih tersebut di masa modern ini banyak sekali. Misalnya surat kwitansi, cek, dokumen akad, surat perjanjian, dan sebagainya. Termasuk juga “bukti/dokumen tertulis” (al-bayyinah al-khaththiyah) yang dibicarakan dalam Hukum Acara Islam, sebagai bukti yang sah dalam peradilan. (Ahmad Ad-Da’ur, Ahkam Al-Bayyinat, hal. 71; Asymuni Abdurrahman, Qawa’id Fiqhiyyah, hal. 52).
Dalil kaidah fikih tersebut, antara lain adanya irsyad (petunjuk) Allah SWT agar melakukan pencatatan dalam muamalah yang tidak tunai (dalam utang piutang) (QS Al-Baqarah : 282). Demikian pula dalam dakwahnya, selain menggunakan lisan, Rasulullah SAW juga terbukti telah menggunakan surat. (Kholid Sayyid Ali, Surat-Surat Nabi Muhammad, Jakarta : GIP, 2000). Ini menunjukkan bahwa tulisan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan lisan.
Jadi, seorang ikhwan (pria) boleh hukumnya mengkhitbah seorang akhwat (wanita) lewat SMS, berdasarkan kaidah fikih tersebut. Namun demikian, disyaratkan akhwat yang dikhitbah itu secara syar’i memang boleh dikhitbah. Yaitu perempuan tersebut haruslah : (1) bukan perempuan yang haram untuk dinikahi; (2) bukan perempuan yang sedang menjalani masa ‘iddah; dan (3) bukan perempuan yang sudah dikhitbah oleh laki-laki lain. (Nida Abu Ahmad, Al-Khitbah
Ahkam wa Adab, hal. 5).
Adapun Adab-Adab yang perlu diperhatikan dalam mengkhitbah adalah :
1. Nadzor (نضر) yang artinya melihat calon pinangannya. Yakni melihat kepada apa-apa yang bisa membuat dia tertarik untuk menikahinya, atau sebaliknya ketika dia melihat calonnya dan mendapati ada sesuatu yang tidak dia senangi darinya maka dia boleh untuk membatalkan pelamarannya.
Beberapa hadits yang mensunnahkan kedua belah pihak saling melihat sebelum memutuskan untuk melanjutkan pelamaran.
a. Hadits Jabir bin ‘Abdillah -radhiallahu ‘anhuma- secara marfu’:
“Jika salah seorang di antara kalian melamar seorang wanita, maka jika kamu mampu untuk melihat apa yang bisa membuat dia tertarik untuk menikahinya maka hendaknya dia lakukan”.
Jabir berkata, “Maka sayapun melamar seorang wanita lalu saya melihatnya dengan sembunyisembunyi (tanpa sepengetahuannya) sampai akhirnya saya melihat darinya apa yang membuat saya tertarik untuk menikahinya maka sayapun menikahinya”.
b. Hadits Al-Mughirah bin Syu’bah -radhiallahu ‘anhu-.Beliau berkata, “Saya mendatangi Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- lalu saya menceritakan kepada beliau perihal seorang wanita yang saya lamar, maka beliau bersabda:
“Pergilah kamu (kepadanya) dan lihatlah dirinya, karena hal itu akan membuat kasih sayang di antara kalian akan langgeng”
Hadits ini menunjukkan bahwa pembolehan untuk nazhor bukan hanya terkhusus bagi kaum lelaki tapi juga dibolehkan bagi seorang wanita yang akan dilamar. Karena kasih sayang itu muncul dari kedua belah pihak sehingga pembolehan di sini juga berlaku bagi kedua belah pihak.
c. Hadits Abu Humaid -radhiallahu ‘anhu- secara marfu’:
“Jika salah seorang di antara kalian melamar seorang wanita, maka tidak mengapa baginya untuk melihat kepadanya jika memang dia melihatnya hanya untuk pelamarannya, walaupun wanita tersebut tidak mengetahui (dirinya sedang dilihat)”
Dalam melakukan nadzhor pun terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi yaitu :
* Dia sudah memiliki niat yang kuat untuk menikah dan tidak ada yang menghalanginya untuk menikah kecuali tinggal mencari calon istri. Hal ini berdasarkan hadits Abu Humaid di atas, yang mana Nabi bersabda, “jika memang dia melihatnya hanya untuk pelamarannya”.
* Batasan terakhir dari bolehnya memandang adalah sampai dia melihat sesuatu yang membuat dia tertarik untuk menikahinya. Maka kapan dia telah melihat hal tersebut sehingga niatnya sudah bulat untuk menikahinya atau sebaliknya dia tidak melihat sesuatu yang membuat dirinya tertarik sehingga berniat untuk membatalkan pelamarannya, maka seketika itu juga dia wajib untuk menundukkan pandangannya dan tidak lagi melihat kepada wanita tersebut.
Karena hal ini (melihat kepada lamaran) hanyalah rukhshoh (keringanan) yang syari’at berikan bagi orang yang mau melamar, maka jika sudah tetap dia akan menikahinya atau sebaliknya dia akan membatalkan pelamarannya maka hokum melihat kepada wanita yang bukan mahram kembali kepada hukum asal, yaitu haram sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Quran Surat An Nur 30-31.
* tidak boleh dilakukan dalam keadaan berkhalwat (berduaduaan), akan tetapi sang wanita wajib ditemani oleh mahramnya yang laki-laki.
Hal ini berdasarkan keumuman hadits-hadits yang melarang darihalwat, seperti sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-:
“Tidak boleh seorang lelaki berkhalwat (berduaan) dengan seorang wanita, karena yang ketiganya adalah setan”
Adapun batasan tubuh wanita yang boleh dilihat menurut Imam Ibnu Qudamah -radhiallahu ‘anhu- berkata, “Tidak ada perselisihan di kalangan para ulama akan bolehnya melihat kepada wajahnya”.
Adapun selain wajah maka para ulama berselisih, dan yang paling kuat adalah apa yang dinukil dari Imam Ahmad -dalam satu riwayat- bahwa boleh bagi seorang lelaki untuk melihat aurat wanita yang biasa nampak darinya ketika wanita tersebut bersama mahramnya, seperti: kepala, leher, tangan, betis, dan yang semisalnya, inilah yang dikuatkan oleh Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny (9/490).
Hal ini berdasarkan hadits Jabir di atas, dimana Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak membatasi bagian tubuh tertentu yang boleh dilihat, akan tetapi beliau bersabda, “melihat apa yang bisa membuat dia tertarik untuk menikahinya”.
Dan inipula yang dipahami dan diamalkan oleh 2 sahabat besar ‘Umar ibnul khoththob dan ‘Ali bin Abi Tholib -radhiallahu ‘anhuma-. Diriwayatkan oleh ‘Abdurrozzaq dalam Al-Mushonnaf (6/163) dan Sa’id bin Manshur dalam As-Sunan (521) bahwa ‘Umar pernah melamar putri Ali, maka ‘Ali berkata, “Sesungguhnya dia masih kecil”, maka ada yang mengatakan kepada Umar bahwa ‘Ali tidak menginginkan dengan ucapannya kecuali untuk menahan putrinya. Maka ‘Ali berkata, “Saya akan menyuruh anak saya mendatangimu, jika dia ridho maka dia adalah istrimu”. Maka diapun mengutus putrinya lalu ‘Umar mendatanginya lalu menyingkap betisnya, maka putri dari ‘Ali berkata, “Turunkan, seandainya kamu bukan amirul mu`minin (pemimpin kaum mu`minin) maka saya akan menampar lehermu”.
Sementara mengenai hukum nadzhor tanpa sepengetahuan pihak wanita adalah dibolehkan sebaimana yang dikatakan Imam Ibnu Qudamah : “Tidak mengapa melihat wanita tersebut dengan izinnya atau tanpa izinnya, karena Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan untuk melihat dan memutlakkannya”.
2. Berpenampilan sederhana dalam melamar. Berkaitan dengan hal ini, saya jadi teringat pada nasihat budhe saya saat saya menghadiri acara lamaran sepupu saya yang terkesan sangat mewah. Budhe saya berkata : Nak, nanti kalau dilamar, jangan mau berlebihan seperti ini ya…sampaikan pada mas nya, kalau tidak mau sederhana, lebih baik tidak usah melamar. Waktu itu, saya hanya tersenyum menanggapinya (karena memang belum ada calon yang mau melamar saya :-D ).
Tidak diperbolehkan bagi pelamar untuk takalluf (membebani diri) dengan memakai pakaian yang sangat indah serta parfum yang sangat harum. Hal ini karena kesediaan seorang wanita untuk dinazhor, sama sekali bukanlah tanda akan keridhoan dari kedua belah pihak, dan sangat mungkin sang wanita akan terfitnah dengan penampilan lelaki tersebut sehingga menimbulkan perkara-perkara yang tidak terpuji, khususnya jika pelamarannya ditolak oleh salah satu pihak.
Dan yang merupakan tuntunan salaf dalam hal ini adalah sebagaimana yang diceritakan oleh ‘Abdullah bin Thowus bahwa ayahnya berkata kepadanya mengenai wanita yang hendak dinikahi oleh anaknya, “Pergilah engkau melihatnya”. ‘Abdullah berkata, “Maka sayapun memakai pakaian (yang indah), lalu memakai minyak dan bergaya”, maka tatkala Thowus melihat anaknya berpenampilan seperti itu, dia berkata, “Duduklah kamu”, beliau benci melihat anaknya melakukan nazhor dengan penampilan seperti itu.
3. Wanita yang akan dinazhor diperbolehkan berhias sekadarnya. ‘Amr bin ‘Abdil Mun’im berkata menjelaskan batasan dari berhias, “Telah berlalu dalam hadits Subai’ah penjelasan mengenai sifat berhias bahwa hiasannya tidak boleh melewati dari sekedar celak mata dan khidhob. Maka tidak boleh bagi seorang wanita berhias untuk pelamarnya melebihi hal tersebut dengan menggunakan make up (arab: masahiqul mikyaj) atau memakai parfum dan wewangian atau yang sejenisnya berupa hiasan yang besar (arab: mugollazhoh). Akan tetapi dia hanya terbatas menggunakan celak mata dan khidhob saja, karena perhiasan selain keduanya sangat terlarang dinampakkan di depan orang yang bukan mahramnya”.
4. Istikhoroh. Jika proses nazhor sudah selesai, maka disunnahkan bagi keduanya untuk melakukan sholat istikhoroh, berharap taufik dan petunjuk dari Allah -Subhanahu wa Ta’ala-. Hal ini ditunjukkan dalam kisah pengutusan Zaid bin Haritsah oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- untuk melamar Zainab -radhiallahu ‘anha-, maka Zainab berkata:
“Saya tidak akan melakukan sesuatu apapun kecuali dengan perintah Tuhanku”. Maka beliaupun (Zainab) berdiri dan melaksanakan sholat di mesjidnya”.
5. Sederhana dalam Mahar.
Jika proses nazhor sudah selesai dan kedua belah pihak telah saling meridhoi, maka berarti sang wali telah menunaikan kewajibannya dengan baik. Kemudian setelah itu, hendaknya wali tersebut berbuat baik kepada wanita yang dia perwalikan dengan cara mempermudah proses pernikahan dan tidak memasang target mahar yang tinggi, karena sesungguhnya keberkahan seorang wanita terletak pada murahnya maharnya.
Sesungguhnya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- sangat membenci dan menegur keras seorang wali yang menetapkan mahar terlalu tinggi, dalam sabda beliau kepada seorang lelaki yang akan menikahi seprang wanita Anshor, dan dia mengabarkan kepada Nabi bahwa maharnya
4 ‘awaq. Maka beliau bersabda:
“Engkau menikahinya dengan mahar 4 ‘awaq?!, seakan-akan kalian memahat (baca: mengambil) perak dari gunung ini …”.
Kemarahan beliau ini wajar, karena mahar yang tinggi akan sangat menyulitkan bagi pihak lelaki, karena seorang lelaki itu menikah dengan tujuan untuk mendapatkan ketenangan dan ketentraman bukan bertujuan agar dia menanggung utang yang banyak. Dan sungguh telah ada suri tauladan yang baik pada diri Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- tatkala beliau menikahkan seorang wanita dengan seorang lelaki dari kalangan sahabat beliau dengan mahar hafalan dan pengajaran Al-Qur`an dari lelaki tersebut.
Bagaimana dengan batasan waktu mengkhitbah?
Adapun mengenai batas waktu khitbah, yaitu jarak waktu khitbah dan nikah, sejauh ini, tidak ada satu nash pun baik dalam Al-Qur`an maupun As-Sunnah yang menetapkannya. Baik tempo minimal maupun maksimal.
(Yahya Abdurrahman, Risalah Khitbah, hal. 77). Dengan demikian, boleh saja jarak waktu antara khitbah dan nikah hanya beberapa saat, katakanlah beberapa menit saja. Boleh pula jarak waktunya sampai hitungan bulan atau tahun. Semuanya dibolehkan, selama jarak waktu tersebut disepakati pihak laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda,”Kaum muslimin [bermu'amalah] sesuai syarat-syarat di antara mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau yang menghalalkan yang haram.” (HR Abu Dawud & Tirmidzi). (Ash-Shan’ani, Subulus Salam, 3/59).
Namun para ulama’ cenderung menyatakan semakin cepat menikah adalah semakin baik. Sebab jarak yang lama antara khitbah dan nikah dapat menimbulkan keraguan mengenai keseriusan kedua pihak yang akan menikah, juga keraguan apakah keduanya dapat terus menjaga diri dari kemaksiatan seperti khalwat dan sebagainya. Keraguan semacam ini sudah sepatutnya dihilangkan, sesuai sabda Rasulullah SAW,”Tinggalkan apa yang meragukanmu, menuju apa yang
tidak meragukanmu.” (HR Tirmidzi & Ahmad). Wallahu a’lam.
Artikel ini disadur dari berbagai sumber, semoga memberi manfaat bagi para pembaca dan menjadi nasihat bagi pribadi saya sendiri. Apabila ada hal yang perlu dishare kan dengan senang hati saya akan menerimanya.
Wallahu a’lam bishowab…

Read more...

MENGKHITBAH AKHWAT..!!

“Maaf Akhi, bukannya saya tidak menghormati permintaan akhi. Tapi rasanya kita cukup menjalin ukhuwah saja dalam perjuangan. Saya doakan semoga akhi menemukan pasangan lain yang lebih baik dari saya”.

Bagaimana rasanya bila kalimat di atas dialami oleh para ikhwan? Bisa saja langit terasa runtuh, hati berkeping-keping. Sang pujaan hati yang kita harapkan menjadi teman setia dalam mengarungi perjalanan hidup menampik khitbah kita. Segala asa yang pernah coba ditambatkan akhirnya karam. Cinta suci sang ikhwan bertepuk sebelah tangan.

Ya drama kehidupan menuju maghligai pelaminan memang beragam. Ada yang menjalaninya dengan smooth, amat mulus, tapi ada yang berliku penuh onak duri, bahkan ada yang pupus ditengah perjalanan karena cintanya tak bertaut dalam maghligai pernikahan.

Ini bukan saja dialami oleh para ikhwan, kaum akhwat pun bisa mengalaminya. Bedanya, para ikhwan mengalami secara langsung karena posisi mereka sebagai subyek/pelaku aktif dalam proses melamar. Sehingga getirnya kegagalan cinta seandainya memang terasa getir langsung terasa. Sedangkan kaum akhwat perasaanya lebih aman tersembunyi karena mereka umumnya berposisi pasif, menunggu pinangan. Tapi manakala sang ikhwan yang didamba memilih berlabuh dihati yang lain kekecewaan juga merebak dihati mereka.

Agar kegagalan mengkhitbah tidak menjadi petaka, maka ikhwan dan akhwat, persiapkanlah diri sebaik-baiknya, ada beberapa langkah yang bisa diambil:

Percayai pada Qada-Nya

Manusia tidak suka dengan penolakan. Ia ingin semua keinginannya selalu terpenuhi. Padahal ditolak adalah salah satu bagian dari kehidupan kita. Kata seorang kawan, hidup itu adakalanya tidak bisa memilih. Perkataan itu benar adanya, cobalah kita renungkan, kita lahir kedunia ini tanpa ada pilihan; terlahir sebagai seorang pria atau wanita, berkulit coklat atau putih, berbeda suku bangsa, dsb. Demikian pula rezeki dan jodoh adalah hal yang berada di luar pilihan kita. Man propose, god dispose. Kita hanya bisa menduga dan berikhtiar, tapi Allah jua yang menentukan.

Bersiap untuk diterima atau ditolak

Hanya ada 2 kemungkinan ketika kita mengkhitbah akhwat, yaitu diterima/ditolak. Jadi kita harus siap dengan 2 kemungkinan tersebut. Selama ini banyak diantara kita yang belum siap untuk merasa kecewa. Dan ketika impian itu berakhir kita seperti terhempas. Tidak percaya bahwa itu bisa terjadi, ada akhwat yang ‘berani’ menolak pinangan kita. Akhi dan ukhti, jangan biarkan angan-angan membuai kita dan membuat diri menjadi panjang angan-angan. Sadarilah semakin tinggi angan membuai kita, semakin sakit manakala tak tergapai dan akhirnya terjatuh.

“Menakjubkan perkara seorang mukmin, sesungguhnya urusannya seluruhnya baik dan tidaklah hal itu dimiliki oleh seseorang kecuali bagi seorang mukmin. Jika mendapat nikmat ia bersyukur maka hal itu baik baginya, dan jika menderita kesusahan ia bersabar maka hal itu lebih baik baginya.” (HR. Muslim)

Ditolak bukan aib lho

Ditolak?? Emang enak! Wah, mungkin demikian pikiran sebagian ikhwan. Malu, kesal dan kecewa menjadi satu. Tapi itulah bentuk ‘perjuangan’ menuju pernikahan. Kita tidak akan pernah tahu apakah sang pujaan menerima atau menolak kita, kecuali setelah mengajukan pinangan padanya. Manakala ditolak tidak usah malu, bukan cuma kita yang pernah ditolak, banyak ikhwan yang ‘senasib’ dan ‘sependeritaan’. Bukankah apa yang kita lakukan adalah sesuatu yang benar? Mengapa mesti malu.

Hargai keputusannya

Marah-marah karena lamaran tertolak? Mendoakan keburukan pada akwat yang menolak kita? Itu bukan sikap seorang muslim yang baik. Tidak ada yang bisa melarang seseorang untuk jatuh cinta maupun menolak cinta. Sebagaimana kita punya hak untuk mencintai dan melamar orang, maka ada pula hak yang diberikan agama pada orang lain untuk menolak pinangan kita. Bahkan dalam kehidupan rumah tangga pun seorang suami dan istri diberikan hak oleh Allah SWT untuk membatalkan sebuah ikatan pernikahan.

Cinta membutuhkan waktu

Maukah ukhti menjadi istri saya? Saya tunggu jawaban ukhti dalam waktu 1 X 24 jam!” Masya Allah, cinta bukanlah martabak telor yang bisa di tunggu waktu matangnya. Ia berproses, apalagi berbicara rumah tangga, pastinya banyak pertimbangan- pertimbangan yang harus dipikirkan. Ada unsur keluarga yang harus berperan. Selain juga ada pilihan-pilihan yang mungkin bisa diambil. Biarkanlah ia berpikir dengan jernih sampai akhirnya ia melahirkan keputusan.

Jangan ke-ge-er-an

Percaya diri itu harus, tapi overselfconfidence adalah kesalahan. Jangan terlalu percaya diri akhi bahwa lamaran antum diterima. Jangan juga terlalu yakin ukhti, bahwa sang pujaan akan datang ke rumah anti. Perjodohan adalah perkara gaib. Tanpa ada seorang pun yang tahu kapan dan dengan siapa kita akan berjodoh. Cinta dan berjodohan tidak mengenal status dan identifikasi fisik. Bukan karena ukhti cantik maka para ikhwan menyukai ukhti. Juga bukan karena akhi seorang aktivis dakwah lalu setiap akhwat mendambakannya. Intinya ‘jangan ke-ge-er-an’ dengan segala title dan atribut yang melekat pada diri kita.

Beri cinta kesempatan (lagi)

“…….dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” ( QS. Yusuf[12]:87 )

Bersedih hati karena gagal bersanding dengan dambaan hati wajar adanya. Tapi bukan alasan untuk menyurutkan langkah berumah tangga. Dunia ini luas, demikian pula dengan orang-orang yang mencintai kita. Bila hari ini Allah belum mempertemukan kita dengan orang yang kita cintai, insyaAllah ia akan datang esok atau lusa, atau kapanpun ia menghendaki, itu adalah bagian dari kekuasaanNya . Cinta juga berproses. Ia membutuhkan waktu. Ia bisa datang dengan cepat tak terduga atau mungkin datang dengan lambat. Beri kesempatan diri kita untuk kembali merasakan kehangatan cinta.

“Jika melamar kepada kalian seseorang yang kalian ridho agamanya dan akhlaknya maka nikahkanlah ia, bila kalian tidak melakukannya maka akan ada fitnah di muka bumi dan kerusakan yang nyata” (HR. Turmudzi)

“Wanita dinikahi karena satu dari tiga hal; dinikahi karena hartanya, dinikahi karena kecantikannya, dinikahi karena agamanya. Maka pilihlah yang memiliki agama dan akhlak (mulia) niscaya selamat dirimu.” (HR.Ahmad)
Sumber: http://rumahkusurgaku.com (dengan beberapa pengurangan)

Read more...

Rabu, 01 Juni 2011

Apakah Malaikat Bisa Jadi Khadam Manusia ?


Khadam artinya pelayan, jongos, orang yang disuruh-suruh[1]. Manusia adalah makhluk yang lemah, kekuatannya terbatas tapi keinginan dan kebutuhannya tiada batas. Untuk memenuhi kebutuhannya yang banyak itu, biasanya manusia melibatkan orang lain. Kalau dalam urusan rumah tangga ia minta bantuan pada orang lain yang disebut dengan pembantu. Untuk menghandel pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya, ia butuh seorang asisten atau ajudan. Dan masih banyak lagi fenomena adanya manusia yang membantu sesama manusia lainnya.
Tapi, terkadang mendengar berita bahwa pelayan yang dimiliki manusia tidak hanya terdiri dari manusia, ada orang yang mengaku bahwa ia punya pembantu dari makhluk lain. Mereka sering menyebut pelayan yang tidak tampak mata itu dengan istilah Khadam. Ada yang mengaku punya khadam jin, dan ada juga yang mengaku punya khadam malaikat yang didapat dari hasil riyadhoh[2] yang berat.
Benarkah malaikat bisa dijadikan khadam seorang manusia, yang bisa ia suruh-suruh kapan saja? Bisa ia setir sesuai kebutuhan dan kehendaknya, seperti pembantu manusia yang ada dirumahnya? Ataukah itu hanya klaim mereka saja? Atau khadam yang mereka klaim sebagai malaikat bukanlah malaikat, tapi hanyalah jin dan syetan yang memperdayainya serta berusaha menyesatkannya? Baca terus kajian ini, dan temukan jawabannya.

Malaikat itu Tentara Allah, Bukan Khadam Manusia
Dewasa ini banyak media cetak yang menawarkan iklan kepada pembacanya, terutama media yang bernafaskan mistik. Iklan yang ditawarkan bukan sembarang iklan, tetapi iklan yang menawarkan kepada pembaca untuk bisa memiliki pembantu atau pelayan. Pelayan yang ditawarkan pun bukan sembarang pelayan, tapi pelayan dari jenis makhluk ghaib, yaitu jin atau malaikat. Sebagian orang telah memahami bahwa bersekutu dengan jin atau syetan hukumnya haram, maka mereka takut dan tidak mau mengambil resiko. Tapi jika dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan khadam itu bukan jin melainkan malaikat, maka banyak orang tergiur dengan iklan provokatif itu. Karena menurut pemahaman mereka malaikat adalah makhluk yang identik dengan kebaikan dan jauh dari kekhufuran. Akhirnya merekapun berusaha untuk bisa memiliki khadam yang diklaim sebagai malaikat tersebut, walaupun harus merogoh kocek yang lumayan besar.
Di antara iklan-iklan provokasi kreatif tersebut adalah Batu Raja Sulaiman. Menurut si empunya salah satu khasiat dari batu tersebut adalah untuk menjadikan tubuh kebal senjata tajam , dan juga untuk melancarkan usaha serta menagih hutang dengan khadam malaikat. Harga batu yang ditawarkan pun variatif, ada yang berharga Rp 1.000.000, dan ada yang bernilai Rp. 2.000.000, dan ada pula yang seharga Rp 3.000.000. Bahkan di sebuah propinsi di Sumatera ada pasien yang harus membeli baju “anti senjata” dengan uang 10 juta. Siapa yang diuntungkan ?? Tidak lain adalah “kyai” itu sendiri.
Ada juga iklan yang menawarkan Aji Malaikat Muqqarabin yang diyakini bisa menjadikan pemiliknya kebal senjata, berwibawa, tidak mempan disantet, selalu selamat dan beruntung. Harga yang ditawarkan lebih murah dari iklan sebelumnya, yaitu Rp 295.000.
Ada juga yang tidak berani terus terang bahwa yang ditawarkan itu adalah khadam malaikat. Hanya saja dia mengiklankan khadam pendamping untuk membantu segala keperluan atau masalah. Khadam dihadirkan dari dalam tubuh sendiri, tanpa puasa, sesajen, tumbal atau perjanjian. Bukan setan, jin kafir atau black magic. Untuk semua agama dan calon pemilik harus datang langsung, hanya untuk  kebaikan! Itulah sebagian dari iklan-iklan yang bertebaran di tengah masyarakat.
Selain itu ada juga pesantran-pesantren yang mengajarkan cara-cara untuk bisa mendapatkan khadam dari malaikat dengan mengamalkan suatu amalan thariqat secara khusus seperti membaca wirid-wirid khusus (Seperti Doa Nurun Nubuwwah) yang dibaca selama beberapa waktu juga disertai dengan puasa sekian hari  dan setelah amalannya lengkap baru didatangi khadam malaikat yang bisa untuk dimintai suatu pertolongan atau suatu keperluan tertentu. Buku Al-Aufaq dan Syamsul ma’arif adalah buku “wajib” para santri.
Benarkah manusia bisa menjadikan malaikat sebagai khadam atau pelayan yang bisa disuruh kapan saja dan untuk apa saja ? Apakah manusia bisa menculik malaikat lalu dijadikan sandra yang bisa diperintah dan dijadikan budak ? Atau ritual-ritual yang dilakukan oleh manusia bisa mendatangkan malaikat, lalu malaikat itu berkhidmah kepadanya serta melayani setiap keperluannya ? Melindungi majikannya kala terancam bahaya, atau membuatnya sakti kebal senjata serta mempermudah segala urusannya ? Marilah kita mencari jawabannya dalam syari’at Islam.
Siapakah malaikat itu ? Menurut kamus besar bahasa Indonesia, malaikat adalah makhluk Allah SWT yang taat, diciptakan dari cahaya, mempunyai tugas khusus dari Allah SWT. (Kamus besar bahasa Indonesia: 705). Sedangkan DR.’Umar Sulaiman al-Asyqar mendefinisikan malaikat sebagai makhluk Allah SWT yang bukan termasuk komunitas manusia atau jin. Mereka adalah makhluk yang mulia, sarat dengan kesucian, kebersihan dan kecemerlangan. Mereka makhluk yang bertaqwa, senantiasa menyembah Allah SWT dengan sebaik-baik penyembahan. Mereka selalu melaksanakan semua perintah yang dibebankan Allah kepadanya, dan tidak akan bermaksiat kepada Allah SWT selamanya.[3]
Rasulullah SAW bersabda,“ Malaikat diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari nyala api, dan Adam diciptakan dari apa yang telah dijelaskan kepada kalian (tanah)”. (HR.Muslim).
Malaikat-malaikat itu adalah tentara-tentara Allah SWT sebagaimana yang diungkapkan Al-Qur’an,“ Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri“. (QS.al-Mutaddatsir: 31). Hanya Allah SWT yang mengendalikan mereka. Tak seorangpun manusia, termasuk para Nabi dan Rasul yang bisa memerintah atau melarang malaikat. Allah SWT berfirman,“Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.“ (QS.al-Qadr: 4). Malaikat tidak turun ke bumi kecuali dengan perintah Allah, bukan perintah manusia. Malaikat Jibril mengakui sendiri bahwa ia tidaklah turun kecuali atas perintah Allah SWT. Ia berkata, ”Dan tidaklah kami turun, kecuali dengan perintah Tuhanmu.” (QS.Maryam: 64).
Mereka diciptakan oleh Allah SWT dan masing-masing mengemban tugas khusus dari-Nya. Ada yang tugasnya tidak berhubungan sama sekali dengan manusia. Seperti malaikat yang ditugaskan untuk menyangga ‘Arsy, “Dan pada hari itu delapan malaikat menjunjung ‘Arsy Tuhanmu di atas (kepala) mereka.” (QS al-Haqqah: 17).
Ada juga yang tugasnya menjaga gunung, sebagaimana diceritakan Rasulullah SAW saat kaumnya yang tidak merespon seruan Rasulullah, ”Malaikat gunung mendatangiku dengan mengucapkan salam, lalu dia berkata: “Wahai Muhammad ! Sesungguhnya Allah SWT telah mendengar apa yang dikatakan kaummu kepadamu, saya malaikat gunung. Dan Tuhanmu (Allah SWT) telah mengutusku untuk mendatangimu, agar aku mengikuti apa yang kamu perintahkan, apa yang kamu inginkan. Kalau kamu mau, aku akan melemparkan dua gunung Mekkah kepada mereka.” Rasulullah SAW menjawab, “Tidak, yang aku inginkan semoga Allah SWT mengeluarkan dari tulang rusuk mereka (keturunan) yang menyembah Allah SWT semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun.” (HR.Bukhari dan Muslim).
Ada juga malaikat yang ditugasi dengan tugas yang berhubungan dengan manusia secara langsung. Seperti mencatat amal manusia yang baik dan yang buruk,“Tiada satu ucapan pun yang diucapkannya, melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS.Qaaf:18). Atau memohon ampunan untuk orang mukmin, “malaikat-malaikat yang memikul ’Arsy dan malaikat yang berada disekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman…“(QS. Al-Mukmin: 7). Menyampaikan salam orang mukmin ke Rasulullah SAW, “Sesungguhnya Allah SWT mempunyai malaikat-malaikat yang menelusuri bumi untuk menyampaikan salam umatku kepadaku.“ (HR.Nasa’i, Hakim dan dishahihkan oleh Al-Abani dan Adz-Dzahabi). Sebagaimana ada juga malaikat yang ditugaskan untuk menjaga manusia, “Dan Dialah yang mempunyai kekuatan tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan diutus-Nya kepadamu malaikat-malaikat penjaga…“ (QS. Al-An’am: 61).
Berdasarkan ayat tersebut, memang ada malaikat yang ditugaskan Allah SWT untuk menjaga manusia, tapi bukan menjadi khadam atau pelayannya. Yang memerintahkan mereka adalah Allah SWT, bukan manusia. Allah SWT berfirman, “Bagi manusia ada Mu’aqqibatun (malaikat-malaikat) yang selalu mengikutinya bergiliran, mereka menjaganya atas perintah Allah SWT.“ (QS.ar-Ra’d: 11).
Ibnu Abbas berkata, “Yang dimaksud dengan Mu’aqqibatun dalam ayat tersebut adalah malaikat-malaikat yang ditugaskan Allah untuk menjaga manusia didepan dan di belakangnya. Apabila ada sesuatu yang telah ditakdirkan Allah untuk menimpanya, maka para malaikat itu meninggalkannya,“ [4]
Bahkan Mujahid (murid Ibnu Abbas) berkata,“ Tidaklah seorang hamba kecuali baginya malaikat yang ditugaskan untuk menjaganya di saat tidur atau terjaga, menjaganya dari gangguan jin, sesama manusia dan binatang buas. Dan tidaklah sesuatu yang akan menimpa hamba tersebut kecuali malaikat tersebut mengingatkannya, kecuali kalau sesuatu itu telah ditaqdirkan Allah SWT untuk menimpanya.“ [5]
DR. Wahbah az-Zuhali berkata, “ Ada dua malaikat yang menjaga manusia di depan dan di belakangnya. Dan ada juga dua malaikat lain yang ditugaskan Allah untuk mencatat amal baik dan buruk manusia yang berada di samping kanan dan kirinya. Allah berfirman,“ (yaitu) ketika dua malaikat mencatat perbuatannya, seseorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk disebelah kiri. Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya, melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.“ (QS.Qaaf:17 – 18).
Berarti bagi setiap manusia empat malaikat di waktu siang dan empat malaikat di waktu malam, mereka bergiliran. Dua bertugas untuk menjaganya dan dua mencatat amalnya, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah, “para malaikat bergantian mengiringi kalian di malam hari dan di siang hari. Mereka berkumpul di waktu shalat shubuh dan shalat ashar. Maka ketika (malaikat) yang berjaga di malam hari naik, Allah akan menanyai mereka (padahal Allah lebih tahu dari mereka),“ bagaimana kalian meninggalkan hamba-hambaku?“ mereka menjawab,“sewaktu kami datang, mereka lagi shalat. Dan sewaktu kami tinggalkan, mereka juga lagi shalat,“ (HR. Bukhari). Dan di riwayat lain rasulullah bersabda, “Sesungguhnya ada (malaikat) yang tidak meninggalkan kalian kecuali saat di toilet dan ketika bersetubuh (dengan istri atau suami), maka malulah terhadap mereka dan hormatilah mereka“ [6]
Memang ada malaikat yang selalu menyertai kita, dan yang mengendalikan mereka adalah Allah. Mereka bertugas atas perintah Allah Swt, bukan perintah manusia. Kalau manusia ingin supaya mereka terus melindunginya serta membantu dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya, hendaklah memohon kepada Allah SWT. Dan cara memohon harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW. Kalau tidak sesuai, syetan akan bermain. Bukan malaikat yang turun, tapi malah jin atau syetan yang datang. Malaikat adalah tentara Allah bukan Khadam manusia!

[1] Kamus bahasa Indonesia, halaman  690 [2] Riyadhoh dalah sebuah disiplin pengemblengan diri dengan membaca wirid, mantra dan disertai puasa-puasa yang berat untuk mendapatkan suatu ilmu hikmah.
[3] Kitab ’Alamaul Malaikatil Abrar: 7
[4] Tafsir al-Munir: 13/123
[5] Tafsir Ibnu Katsir: 503
[6] Tafsir al-Munir: 13/123

Read more...

IHYA 'ULUMUDIN'

Read more...

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP