Freelance Jobs CO.CC:Free Domain

Senin, 30 Mei 2011

Ngaji Kitab Lum’atul I’tiqod 3

Bissmillah …
Berikut penjelasan akhir dari muqoddimah pertama, semoga bermanfa’at dan menjadi amal shalih, amin.
Perkataan penulis (له الأسماء الحسنى) ‘Bagi-Nya seluruh nama-nama yang sangat baik’. Dalam perkataan ini kita akan jelaskan beberapa hal:
1. Alloh Ta’ala telah mensifati nama-namanya dengan al husna dalam empat tempat :

  • Dalam surat al A’raf ayat 180.
  • Dalam surat al Israa ayat 110.
  • Dalam surat Thoha ayat 8.
  • Dan surat Al Hasyr ayat 24.
Sisi indah al husna dalam nama-nama Alloh Ta’ala adalah : Karena nama-nama tersebut menunjukkan pada yang dinamai, pada sifat dan pengaruhnya yang baik –jika nama tersebut nama yang muta’adi.
2. Kaidah menetapkan bahwa nama tersebut merupakan asmaul husna.
Suatu nama menjadi bagian dari nama-nama Alloh Ta’ala jika terkumpul padanya tiga syarat :
  • Telah datang penetapannya dalam al Kitab dan as Sunnah, yakni ada nas/dalil dalam al Qur’an atau sunnah yang menyebutkannya, langsung dengan nama, tidak dengan fi’il atau masdar.
  • Lafadz isim tersebut dari nama yang Alloh Ta’ala diminta dengannya.
  • Lafadz isim tersebut mengandung pujian yang sempurna lagi mutlaq tidak dikhususkan.
3.   Kaidah dalam nama-nama Alloh Ta’ala.

a. Seluruh nama Alloh husna (sangat baik/indah), yakni pada puncak kebaikan. Alloh Ta’a’a berfirman  : “Bagi-Nya nama-nama yang husna”, karena ia mengandung sifat yang sempurna, tidak ada kekurangan dari seluruh sisinya, baik secara ihtimal atau secara taqdir[1].
b. Nama-nama Alloh Ta’ala tidak terbatas dengan bilangan tertentu.
Suatu yang diyakini oleh ahlu sunnah wal jama’ah, bahwa kita tidak mengetahui dari nama-nama Alloh, kecuali nama-nama yang Dia telah mengabarkannya kepada kita. Dan disana ada nama-nama yang Alloh sembunyikan di ilmu ghoib yang ada disisi-Nya.
Dalil Kaidah :
Rosululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam bersabda[2] :
 اللهم إني أسألك بكل اسمٍ هو لك سميت به نفسك أو أنزلته في كتابك أو علمته أحدًا من خلقك أو استأثرت به في علم الغيب …
“Ya Alloh, aku meminta kepadamu dengan seluruh nama-namaMu yang Engkau telah menamakan diri-Mu dengannya, atau yang Engkau telah menurunkannya di dalam kitab-Mu, atau yang talah Engkau mengajarkannya kepada salah seorang dari makhluk-Mu, atau yang telah Engkau menyembunyikannya di ilmu ghoib …“. (Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam Musnadnya [1\452], Ibnu Hibban [1\690], Abu Ya’ala [9\199], At-Thobroni di dalam Al-Mu’jam Al-Kabir [10\170] dan Ibnu Abi Syaibah di dalam Mushonaf-nya [7\47] dan di dalam Musnad-nya [1\223]. Hadis ini disahihkan oleh Ahmad Syakir di dalam Ta’liq beliau kepada al-Musnad [5\266], Al-Albani di dalam Silsilah No. 199, Al-Arnauth di dalam Takhrij Zadil Ma’ad [4\198], Ibnul Qoyyim di dalam Sifa’ul ‘Alil, h. 473, Al-Haitsami [1\139].
Sisi Pendalilanya : Terdapat pada lafadz (atau yang Engkau sembunyikan di dalam ilmu ghoib …[ أو استأثرت به في علم الغيب]).
Ibnu Utsaimin rihimahulloh berkata : “Tidak ada seorang pun yang bisa membatasi dan mengetahui sesuatu yang Alloh Ta’ala sembunyikan di dalam ilmu ghoib”.
Tatkala Al-Khottobi menyebutkan hadis ini di dalam kitab Syanu ad-Du’a, h. 24 berkata : “Maka hadis ini memberikan penjelasan kepadamu bahwa (ada) nama-nama Alloh  yang tidak diturunkan di dalam kitab-Nya, Dia menghalanginya dari makhuluk-Nya, dan tidak menampakannya kepada mereka”.
Ibnul Qoyyim berkata (Syifa’ul ‘alil, h. 472) :”Hadis ini merupakan dalil bahwa nama-nama Alloh itu lebih banyak dari sembilan puluh sembilan nama,  bagi-Nya nama-nama dan sifat-sifat yang Dia menyembunyikan-Nya di dalam ilmu ghoib di sisi-Nya, tidak mengetahuinya selain-Nya. Oleh karena itu sabda Rosulull-Nya : ‘sesungguhnya Alloh memiliki sembilan puluh sembilan nama’ tidaklah meniadakan bahwa bagi-Nya ada nama-nama selain itu, dan pembahasan ini merupakan satu pembahasan, yakni bagi-Nya nama-nama yang disifati. Sebagimana dikatakan : ‘Si Pulan memiliki seratus budak yang dipersiapkan untuk berdagang, dan seratus budak dipersiapkannya untuk berjihad. Ini (bahwa nama-nama Alloh lebih dari sembilan puluh sembilan –pen) merupakan pendapat jumhur, adapun ibnu Hazm menyelisihi jumhur, dia menyangka bahwa nama-nama Alloh dibatasi dengan bilangan ini[3] (yakni : Sembilan puluh sembilan –pen)”.
c.  Nama-Nama Alloh Ta’ala Menunjukan Kepada Sifat-Nya.  Dilalah Muthobaqoh, Tadzomun dan Iltizam.
Penjelasan  : [4]
Pengertian dilalah; kata dilalah memiliki dua makna yang musytarok :
Pertama :
كون أمر بحيث يفهم منه أمر آخر “Sesuatu yang darinya dipahami sesuatu yang lain”.
Maksud dari kata : “ sesuatu ” yang pertama adalah : dal (Yang menunjukkan pada sesuatu yang dicari). Dan makna kata ” sesuatu ” yang kedua adalah madlul (Yakni : Hasil dari sesuatu yang ditunjukan oleh dalil).
Jadi
makna dilalah adalah : “dal yang darinya dipahami suatu makna; sama saja dipahami dengan pasti atau pun tidak.
Kedua :فهم أمر من أمر أي فهم المدلول من الدال أي فهم المعني من الدال بالفعل سواء أكان الدال لفظاً أم غيره “Memahami sesuatu dari sesuatu, yakni : Memahami madlul dari dal; Makasudnya : Memahami suatu makna dari dal dengan pasti; sama saja, apakah dal itu suatu lafadz atau pun yang lainnya[5].
Dalalah muthobaqoh : Penunjukan suatu lafadz atas seluruh maknanya. Seperti lafadz ‘rumah’, ia merupakan lafadz yang menunjukan pada dinding, lantainya dan atapnya. Lafadz ‘Zaid’, ia merupakan suatu lafadz yang menunjukan pada dzat dan sifat-sifatnya; karena kata ‘Zaid’ menunjukan atas hal tersebut secara muthobaqoh. Maka kata : asmaulloh (nama-nama Alloh) Ta’ala menunjukkan pada dzat dan sifat-Nya.
Dalalah tadzomun : Penunjukan lafadz atas bagian penamaannya. Dikatakan pula : Penunjukan lafadz atas sebagian maknanya: Seperti lafadz ‘rumah’, maka secara tadzomun lafadz rumah ini meliputi kepada satuan-satuan dari rumah tersebut; menunjukan pada dindingnya saja, lantainya saja dan atapnya saja. Dikatakan tadzomun karena ia merupakan bagian dari suatu pembahasan atau lafadz tertentu. Lafadz ‘Zaid’ yang menunjukan pada dzatnya saja atau pada sifatnya saja. Maka kata ‘asmaulloh secara tadzomun adalah menunjukan pada Dzat-Nya saja atau kepada sifatnya saja.
Dalalah iltizam : Penunjukan lafadz atas kelaziman[6] maknanya. Seperti lafadz ‘rumah’, lafadz ini secara iltizam menunjukan pada tukangnya, karena lafadz rumah secara lazim menunjukan kepada para tukang yang membangunnya. Lafadz ‘Zaid’, ia menunjukan kepada bapaknya dan ibunya. Maka asma’ulloh; seprti nama-Nya Al-Kholiq (Yang Maha Pencipta) menunjukan kepada sifat al-hayah secara iltizam; karena merupakan lawazim al-Kholqu (pencipta) adalah al-hayah[7] (Maha Hidup); karena al-mayit (yang mati) tidaklah menciptakan.
Kaidah ini merupakan bantahan kepada orang mu’tazilah yang menyatakan : Nama Alloh menunjukan kepada nama semata tidak mengandung sifat. mereka mengatakan : Nama Alloh al-’Alim (Maha Mengetahui) namun tidak memiliki ilmu. Nama Alloh Al-Qodir (Yang Maha Mampu) namun tidak memiliki kemampuan, dan seterusnya.
Ibnu ‘Utsaimin rohimahulloh berkata (Al-Qow’idul Mutsla, beserta syarahnya ‘Al-Mujalla’ h.  92: “Kaidah keempat : Penunjukan nana-nama Alloh Ta’ala atas Dzat dan Sifat-Nya; bisa dengan muthobaqoh, tadzomun dan iltizam. Contohnya : (Al-Kholiq) menunjukan pada dzat Alloh dan sifatnya al-kholqu (mencipta) dengan muthobaqoh. Menunjukan kepada Dzat-Nya semata dan kepada sifat-Nya semata secara tadzomun. Menunjukan kepada sifat ilmu dan qudroh secara iltizam”.
d. Wajib beriman dengan nama-nama Alloh Ta’ala : Beriman Dengannya, dengan kandungannya (sifat) dan atsarnya yang muta’addi[8].
Penjelasan Kaidah :
Kita telah mengetahui bahwa nama-nama Alloh Ta’ala mengandung sifat-sifat yang sempurna dari segala sisi. Akan tetapi, sifat-sifat tersebut ada dua jenis jika ditinjau dari muta’addi  dan tidaknya.
Ibnu Utsaimin rohimahulloh (Qowa’idul Mutsla beserta syarahnya [Al-Mujalla], h. 87) berkata : “Kaidah ke tiga : Nama-nama Alloh Ta’ala jika menunjukan kepada sifat yang muta’addi, maka mengandung tiga perkara :
  • Penetapan nama tersebut bagi Alloh ‘Azza wa Jalla.
  • Penetapan sifat yang  terkandung di dalam nama tersebut bagi Alloh ‘Azza wa Jalla.
  •  Dan penetapan hukum dan konsekwensinya.
Beliau rohimahulloh (h. 88) berkata : … diantara contohnya adalah : “As-Sami (Yang Maha Mendengar)” : Ia mengandung :
  • Menetapkan As-Sami sebagai nama bagi Alloh Ta’ala.
  • Menetapkan as-Sam’u sebagi sifat bagi-Nya
  • Dan menetapkan hukum dan konsekwensinya bahwa ia mendengar suara yang pelan dan bisik-bisik. Sebagaimana firman Alloh Ta’ala :“Sesungguhnya Allah Telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha melihat [1461]“. (QS. Al-Mujadilah : 1).
Jika (nama tersebut) menununjukan kepada sifat yang tidak muta’addi[9] maka mengandung dua perkara :
  • Penetapan nama tersebut bagi Alloh ‘Azza wa Jalla.
  • Penetapan sifat yang terkandung di dalam nama-nama itu bagi Alloh ‘Azza wa Jalla.
Contohnya seperti “Al-Hayyu (Yang Maha Hidup)” mengandung:
  • Penetapan Al-Hayyu sebagi nama bagi Alloh
  • Dan penetapan sifat Al-Hayat (kehidupan) bagi Alloh ‘Azza wa Jalla. Selesai.
e. Nama-nama Alloh Mutarodif dari tinjauan Dzat dan Mutabayinah dari tinjauan sifat.
Penjelasan Kaidah :
Sebelum  menjelaskan kaidah ini, kami berkeinginan untuk menjelaskan terlebih dahulu tentang lafadz-lafadz yang akan membantumu di dalam memahami kaidah ini.
Pertama : Mutarodifah : Suatu kata yang berbeda lafadznya tetapi sama maknanya (sinonim); Contohnya nama-nama as-saif (pedang), banyak namanya namun sama di dalam maknanya. Seprti nama-nama Nabi sholallohu ‘alaihi wa sallam, berbeda-beda lafadznya namun sama di dalam maknanya, karena seluruhnya menunjukan kepada dzat yang satu, yakni dzatnya sholallohu ‘alaihi wa sallam. Seperti nama al-Qur’anul karim, seprti adz-Dzikr, al-Kitab dan al-Qur’an, seluruhnya menunjukan kepada suatu yang satu dengan lafadz yang berbeda-beda.
Kedua : At-Tabayun : Suatu kata yang berbeda lafadz dan maknanya; seperti kata al-bait (rumah) dan al-Fiil (gajah), berbeda lafadznya, ejaan kalimat ini (rumah) bukanlah eajaan bagi huruf yang itu (gajah), kata ini al-fiil bukanlah al-bait.
Ketiga : At-Tawathi : Suatu kata yang sama lafadz dan maknanya; kasus seperti ini sangatlah langka di dalam bahasa arab, contohnya isim al-mutlaq al-kulli.
Keempat : Al-Istirok : Suatu kata yang berbeda maknanya namun sama di dalam   lafadznya.
Jika engkau telah mengetahui masalah ini maka ketahuilah !, nama-nama Alloh yang telah datang kepada kita dengan lafadz-lafadz yang berbeda; seperti as-sami (Yang Maha Mendengar) dan al-bashir (Yang Maha Melihat), lafadz yang pertama (as-sami) bukanlah hakikat lafadz yang kedua (al-bashir), demikianlah …, kecuali lafadz-lafadz itu bersama berbedanya tersebut telah menunjukan kepada dzat yang satu yaitu Alloh Jalla wa ‘alla. Ia (lafadz-lafadz tersebut) ditinjau dari penunjukannya kepada Alloh saja, maka di sebut at-tarodif; karena berbeda lafadznya namun sama di dalam penunjukannya. Akan tetapi, jika ditinjau dari kandungan nama-nama ini, yakni dari sifat, maka kita akan dapatkan bahwa setiap nama mengandung sifat yang sifat tersebut bukanlah yang di kandung oleh nama yang lainnya; seperti as-sami dan al-bashir, maka as-sami menunjukan pada sifat sam’u (mendengar) dan al-bashir menunjukan kepada sifat bashor (melihat), dan suatu hal yang telah diketahui bahwa as-sam’u (mendengar) bukanlah al-bashor (melihat), bahkan ia merupakan makana yang berlainan.
Demikianlah sesisanya dari nama-nama Alloh Ta’ala, jika ditinjau dari penunjukannya kepada dzat yang satu maka ini merupakan mutarodif, dan jika ditinjau dari penunjukannya terhadap sesuatu dari sifat maka merupakan at-tabayun. Jadi benarlah kaidah ini. Segala puji bagi Alloh Ta’ala.
Tambahan :
Perkataan sebagian kelompok (Mu’tazilah), bahwa nama-nama itu hanyalah merupakan nama-nama semata yang mutarodif, dan sebagian mereka menjadikannya dari bab yang at-tabayun dan dengan terang-terangan dengan menafikan sifat.
Apakah perkataan ini haq atau bathil ?. Jawabannya adalah : Perkataan mereka di dalamnya terdapat sesuatu yang global, maka kita berhenti sejenak sampai datangnya kejelasan. “Orang-orang yang berkata : Bahwa nama-nama itu mutarodif -kita rinci-, jika mereka memaksudkannya mutarodif dari sisi tinjauan penunjukannya kepada dzat maka perkataan mereka benar tanpa keraguan; jika mereka mengatakan mutarodif dari tinjauan penunjukannya kepada sifat maka bathil, menyelisihi akal dan naql. As-sam’u (mendengar) bukanlah al-’ilmu (mengetahui), al-qudroh (mampu) bukanlah al-bashor (melihat) dan seterusnya.
Adapun orang-orang yang menjadikanya dari bab at-tabayun, maka jika yang mereka inginkan ia tabayun dari tinjauan penunjukannya kepada sifat maka ia merupakan perkataan yang benar tidak ada cela di dalamnya. Adapun jika yang mereka maksudkan tabayunnya dari penunjukannya kepada dzat maka kufur, karena Alloh Maha Esa di dalam Dzat-Nya, nama-Nya dan di dalam sifat-Nya”. Maka perkataan yang benar tanpa kedustaan di dalamnya adalah perkataan ahlu sunnah wal jama’ah yang menyatakan : Nama-nama Alloh Ta’ala mutarodif dari tinjauan penunjukannya kepada dzat, dan mutabayinah dari tinjuan penunjukannya kepada sifat.
Jadi orang-orang yang berkata : Sesungguhnya al-’alim, as-sami, al-bashir, al-qodir al-muhaimin merupakan suatu yang satu, maka ia benar jika yang dia inginkan tentang penunjukannya kepada dzat yang satu, dan dia salah jika yang dia maksudkan bahwa seluruh nama itu menunjukan kepada sifat tertentu yang telah ditunjukan oleh nama-nama yang lain. Orang-orang yang berkata : bahwa nama-nama itu bukanlah sesuatu yang satu, maka ia benar jika yang dimaksudkan tentang penunjukannya kepada sifat-sifat, mutabayinah. Adapun jika yang dia maksudkan adalah penujukannya kepada dzat yang berbeda-beda maka salah. Allohu ‘Alam.
f. Sama di dalam nama tidak memberikan konsekwensi sama di dalam sifat.
Penjelasan Kaidah :
Kaidah ini merupakan bagian dari kaidah terpenting di sisi ahli sunnah wal jama’ah, karena merupakan bantahan yang sangat kuat atas kaidah ahli kalam yang dicela, ahli kalam memiliki kaidah : Sama di dalam nama memberikan konsekwensi Sama di dalam sifat; Mereka membangun madzhab mereka di atas kaidah ini untuk membatalkan nama-nama dan sifat Alloh subhanahu wa ta’ala. Mereka berkata : “Menetapkan sifat memberikan konsekwensi keserupaan Alloh dengan makhluknya, ini merupakan suatu kekurangan bagi pencipta, oleh karena itu –yakni  mereka mengatakan demikain– andaikan kita menetapkan sifat tangan bagi Alloh maka memberikan konsekwensi bahwa tangan-Nya itu seperti tangan makhluk, karena lafadz tangan merupakan lafadz yang satu bagi keduanya (Kholik dan makhluk), maka kesamaan di dalam nama memberikan konsekwensi kesamaan di dalam sifat”. Demikaian perkataan mereka, setiap sifat Alloh Ta’ala yang ditetapkan oleh al-Kitab dan as-Sunnah maka mereka menafikannya, dikarenakan usul yang rusak ini.[10]
Oleh karena itu, suatu kemestian untuk membantah dan membatalkan kaidah mereka yang rusak, jika engkau mengetahui ini maka ketahuilah !, bahwa kaidah mereka ini bathil secara akal, naql dan hissi; sebagimana kaidah kita yang kita sedang jelaskan merupakan kaidah yang benar secar akal, naql dan hissi. Karena setiap dalil naqli, akli atau pun  hissi membatalkan kaidah mereka dan membenarkan kaidah kita.
Dalil yang menunjukkan benarnya kaidah kita dari sisi naql : Kita mendapatkan bahwa Alloh Ta’ala di dalam kitabnya yang mulia telah menamakn diri-Nya dengan nama-nama, dan telah menamai hambanya dengan nama-nama itu pula, dan tidaklah sama antara yang menamai dengan yang dinamai. Diantaranya firman Alloh Ta’ala :
إن الله كان سميعًا بصيرًا
“Sesungguhnya Alloh Maha Mendengar lagi Maha Melihat“. Alloh berfirman tentang makhluk-Nya :
إنا خلقنا الإنسان من نطفة أمشاجٍ نبتليه فجعلناه سميعًا بصيرًا
“Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur, yang kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), Karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat“. (QS. Al-Insan : 2).  Dari kedua ayat ini tentulah orang yang berakal akan mengatakan : Tidaklah sama antara yang Maha Mendengar dengan yang mendengar, tidaklah sama antara yang Maha Melihat dengan yang melihat.
Demikian pula di dalam sifat, kita dapatkan Alloh mensifati diri-Nya dengan sifat-sifat yang dengan sifat itu pula Dia mensifat hamba-Nya, bersama dengan berbedanya antara kedua sifat tersebut dan yang disifati dengan sifat itu. Alloh Ta’ala mensifati diri-Nya dengan Ar-Rohmah, Dia berfirman :
وربك الغفور ذو الرحمة
“Dan Robb mu Yang Maha Pengampun, pemilik sifat Rohmah.
Nabi sholallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :
الراحمون يرحمهم الرحمن
“Orang yang penyayang disayangi Yang Maha Penyayang”.
Tidaklah sama antara sifat rohmah yang disandarkan kepada Alloh dengan sifat rohmah yang disandarkan kepada makhluk, bahkan bagi masing-masing sifat tersebut sesuai dengan yang disifati dengan sifat tersebut. Tidaklah dikarenakan sama di dalam sifat rohmah menjadi dalil samanya sifat hamba yang memiliki sifat rohmah (penyayang) dengan Yang Maha Rohmah.
Adapun dalil akal yang menunjukan benarnya kaidah kita dan bathilnya kaidah mereka adalah : Merupakan sesuatu yang diketahui, bahwa makna-makna dan sifat akan memiliki perbedaan dengan yang lainnya sesuai dengan yang menyandarinya, setiap sifat sesuai dengan kemestiannya, sebagimana dzat berbeda-beda sesuai dengan sesuatu yang disandarkan kepadanya, demikian pula sifat berbeda-beda sesuai dengan kemestian yang pantas dengannya.
Anadikan kita mensifat besi dengan lembut dan kita pun mensipati manusia dengan lembut, maka besi dan manusia sama-sama disifati dengan layin\lembut, akan tetapi kita mengetahui sacara akal dan hissi bahwa lembut yang disandarkan kepada besi tidaklah sama dengan sifat lembut yang disandarkan kepada manusia, bahkan lembutnya manusia hanya khusus bagi dirinya dan begitu pun besi.
Dalil dari hissi tentang batilnya kaidah mereka dan benarnya kaidah kita adalah : Kita melihat kenyataan sesuatu yang sama di dalam namanya tetapi berbeda di dalam sifatnya. Sebagi contoh kita melihat bahwa gajah memiliki tubuh demikian juga nyamuk memilikinya, keduanya sama-sama disifati dengan sifat jism\tubuh, akan tetapi tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa tubuh nyamuk seperti tubuh gajah, barangsiapa mengatakannya maka dia merupakan manusia yang paling stres. Demikian pula kita melihat lampu disifati dengan sifat bercahaya, demikian pula matahari disifati dengan sifat bercahaya, tetapi kita tidak pernah mendengar ada yang menyatakan bahwa cahaya lampu seperti cahaya matahari. Dan alangkah indahnya permisalan yang diungkapkan oleh syaikhul Islam Taqiyuddin di dalam kitab tadmuriyah, beliau mencontohkan tentang surga dan ruh[11].
g. Sama di dalam nama global lagi menyeluruh tidak memeberikan konsekwensi sama setelah adanya pembatasan, pengkhususan dan Idzofah.
Kaidah ini merupakan penyempurna bagi kaidah sebelumnya, bahkan kaidah ini merupakan cabang darinya. Penjelasannya sebagai berikut :
Sifat di sisi kita tidak akan terlepas dari tiga keadaan ; tidak ada yang keempatnya.
Pertama :
Sifat mutlaqoh tidak disandarkan kepada sesuatu; Seperti perkataan kita : sam’un (mendengar), bashorun (melihat), ilmu dan kalam (berkata). Disebutkan sifat tanpa dibatasi dengan sesuatu pun.
Kedua : Sifat mudhzof (disandarkan) kepada Alloh; Seperti sam’ulloh (pendengaran Alloh), bashorulloh (penglihatan Alloh), ilmulloh (ilmu Alloh), kalamulloh (perkataan Alloh).
Ketiga : Sifat mudzof (disandarkan) kepada makhluk; Seperti sam’u al-Makhluk (pendengaran makhluk), bashoru al-makhluk (penglihatan Alloh), ilmul makhluk (Ilmu makhluk) dan kalamul makhluk (perkataan makhluk).
Jika engkau telah mengetahui hal ini, maka ketahuilah !, sifat yang mutlak; yaitu yang kita ungkapkan dengan ucapan “Nama yang global lagi umum” atau “Al-Ismu Al-Mutlaq”, tidaklah bisa berdiri sendiri tanpa yang disifatinya atau tanpa sesuatu yang disifatinya. Kita tidaklah mendapatkan suatu bukti bahwa ada sma’un (pendengaran), ‘ilman (ilmu), kalam (perkataan) secara mutlaq tanpa sesuatu yang membatsinya.
Jika telah kokoh masalah ini didalam dirimu, maka ketehuilah !, : Tidaklah ada sesuatu yang ada kecuali keduanya memiliki bagian istirok dari sisi nama yang umum. Akan tetapi istirok ini berakhir tatkala sifat tersebut dibatasi dengan yang disifati.
Perkataan ini umum di dalam seluruh nama-nama; sama saja di dalam nama-nama Alloh ataupun selainnya.
Ketahuilah !, isytiroq dan tasyabuh di dalam al-ismu al-’am (nama yang umum) –yang telah kita sebutkan– bukanlah tasyabuh yang ditiadakan oleh dalil, bukan pula yang dimaksud oleh para ulama : “Dengan tanpa tasybih“, bahkan yang dimaksudkan dengn tasyabuh yang ditiadakan oleh dalil dan dinafikan pula oleh ahlu sunnah wal jama’ah adalah perkataan ahli tamtsil yang menyatakan kesamaan setelah adanya taqyid (pembatasan) dan takhshis (pengkususan).
Berikut contohnya –dengan contoh akan jelaslah permasalahannya–: sam’ulloh (pendengaran Alloh) dan sma’u al-makhluk (pendengaran makhluk) memiliki sisi istirok di dalam ‘al-ismu al-kuli al-’am’ yaitu sifat sam’u, akan tetapi tatkala sifat as-sam’u ini disandarkan kepada Alloh hilanglah sisi istirok dan syibhu. Pendengaran makhluk dikhususkan dengannya. Dan begitu pula pendengaran Alloh dikhususkan dengan-Nya yang Maha Mulia dan Maha Agung.
Perkataan penulis : (والصفات العُلَى) ‘dan sifat yang tinggi’. Dalam perkataan ini kita akan sebutkan :
1. Seluruh sifat-sifat Alloh Ta’ala merupakan sifat yang sempurna, tidak ada kekurangan dari seluruh sisinya, seperti hidup, kuasa, ilmu, mendengar, melihat dan yang lainnya. Berdasar firman Alloh Ta’ala : ولله المثل الأعلى “Dan hanya bagi Alloh sajalah sifat yang tertinggi”. Karena Dzat Alloh Ta’ala Maha Sempurna, maka suatu konsekwensinya sifatNya pun merupakan sifat Yang Tertinggi.
2. Pembagian sifat Alloh Ta’ala.
Pembagian sifat yang akan disebutkan berikut merupakan pembagian yang baru, pembagian seperti ini tidak dikenal oleh as salaf al awaail (as salaf generasi pertama), akan tetapi tatkalan mutakalimin berbicara tanpa ilmu yang sahih dalam masalah asma dan sifat, mereka mentawilnya, mentathilnya dan membaginya pada pembagian yang tidak berdasar pada dalil yang sahih atau pada dalil yang sah namun dengan pendalilan yang keliru; seperti membagi pada sifat nafsiah, maknawiyah dan yang lainnya, maka ulama ahlu sunnah bangkit untuk menjelaskan hal tersebut dan untuk meluruskan pembagian yang keliru serta membuat istilah yang dilandasi oleh al Qur’an dan as Sunnah serta dengan pendalilan yang benar; karena didasari bingkai pemahaman yang sahih pula.
Pembagian sifat memungkinkan untuk ditinjau dari tiga sisi :
  • Dari tinjuan penetapan (itsbat) dan penafian (nafyu).
  • Dari tinjuan keterkaitannya dengan dzat dan perbuatan-Nya.
  • Dari tinjuan dalil penetapannya.
a. Pembagian sifat ditinjau dari penetapan dan penafian
1)      Sifat tsubutiyah.
Makna Sifat Tsubutiyah bagi Alloh adalah :
Sifat yang Alloh telah tetapkan untuk diriNya dalam kitabNya, atau yang telah ditetapkan oleh lisan Rosul-Nya sholallohu ‘alaihi wa sallam[12].
2)      Sifat salbiyah; yakni manfiyah.
Makna Sifat Salbiyah; Yakni Manfiyah bagi Alloh Ta’ala :
Sifat yang Alloh Ta’ala nafikan dari diriNya dalam kitabNya, atau yang telah dinafikan oleh lisan Rosul-Nya sholallohu ‘alaihi wa sallam[13].
b. Pembagian sifat ditinjau dari keterkaitannya dengan Dzat dan perbuatan-Nya.
1)  Sifat dzatiyah. Ia adalah suatu sifat yang Alloh Ta’ala senantiasa disifati dengan sifat tersebut, seperti al ilmu, al qudroh, al hayat, as sam’u, al yadain dan selainnya.
2)  Sifat fi’liyah. Ia adalah sifat yang berkaitan dengan masyi-ah, jika Dia menghendaki maka mengerjakannya dan jika tidak menghendaki maka tidak mengerjakannya. Seperti sifat al maji, an nuzul, al godhob, al farhu, ad dohik dan yang selainnya, sifat-sifat seperti di atas disebut pula dengan sifat ikhtiyariyah.
Perbuatan Alloh Ta’ala terbagi dua :
  • Laazimah, seperti istiwa, an nuzul, al ityan dan yang semisalnya.
  • Muta’adiyah, seperti al kholqu, al I’tho dan semisalnya.
Sifat fi’liyah ditinjau dari keberadannya pada Dzat disebut sifat dzatiyah, sedangkan ditinjau dari keterkaitannya dengan sesuatu yang timbul darinya; perkataan dan perbuatan maka disebut sifat af’al. sebagi contohnya sifat kalam, ia ditinjau dari poko pangkal sifat tersebut termasuk sifat dzatiyah, sedangkan bila ditinjau dari satuan kalam itu sendiri maka termasuk sifat f’il. Dari sini kita akan memahami istilah qodimu an nau hadisul ahad.
c. Pembagian sifat ditinjau dari dalil penetapannya.  
1)  Sifat khobariyah, yakni sifat yang tidak ada jalan untuk menetapkannya kecuali dengan dalil sam’i; kabar dari Alloh Ta’ala atau dari Rosululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam. Sifat ini pun dinamakan dengan sifat sam’iyyah atau naqliyah. Ia terkadang merupakan sifat dzatiyah, seperti wajah dan dua tangan, atau terkadang pula sifat fi’liyah, seperti al farhu dan ad dohik.
2)  Sifat sami’yyah ‘aqliyah, ia adalah sifat yang adanya perpaduan dali sam’i naqliy dan dalil ‘aqli. Maksud perpaduan di sisni adalah adanya kemungkinan secara akal pun bisa menetapkannya. Seperti sifat ilmu, akal bisa menetapkannya, karena kita mengetahui : Andaikan manusia memiliki sifat ilmu merupakan sesuatu yang sempurna, maka Alloh Ta’ala lebih utama untuk memiliki sifat kesempurnaan tersebut; yakni memiliki sifat ilmu. Kemudian patut dicermati dan diperhatikan pula, tatkala ahlussunnah waj lama’ah; salafiyyun menyatakan secara akal bisa menetapkannya bukan berarti akal sebagai pijakan utama, namun mereka tetap menjadikan sam’i (dalil syar’i) sebagai pijakan dan akal mengikuti, titik ini pula lah yang membedakan ahlussunnah wal jama’ah dengan kaum mutakallimin; seperti Asya’iroh[14].
Sifat sam’iyyah aqliyah terkadang dzatiyah, seperti al hayat, al ‘ilmu, al qudroh dan selainnya. Terkadang pula fi’liyah, seperti al kholqu, al ‘I’tho dan selainnya.
3.  Asas madhab as Salaf as Sahalih dalam sifat Alloh Jalla wa ‘Ala
a.  Menetapkan dan mengimani semua sifat yang telah ditetapkan Alloh untuk dirinya atau yang telah ditetapkan oleh Rosul-Nya bagi Alloh Ta’ala.
Alloh Ta’ala telah memuji dirinya dengan sifat-sifat tersebut, dalilnya firman Alloh Ta’ala :
وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Dan Dia (Ta’ala) Maha Mendengar dan Maha Melihat”.
اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ
“Dialah Alloh yang tidak ada sesembahan yang benar selain Dia Yang Maha Hidup Lagi Maha Berdiri sendiri”. (QS. Al Baqoroh : 255).
وَهُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ
“Dan Dia Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
الرحمن على العرش استوى
“Ar Rohman di atas ‘Arsy istiwa”. (QS. Thoha : 5).
فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ
“Maka Alloh akan mengganti dengan suatu kaum yang Dia (Ta’ala) mencintai mereka dan mereka pun mencintaiNya”. (QS. Al Maidah : 5) dan ayat-ayat yang lainnya.
Imam Ahmad bin Hanbal rohimahulloh berkata :
نعبد الله بصفاته كما وصف به نفسه ، قد أجمل الصفة لنفسه ، ولا نتعدى القرآن والحديث، فنقول كما قال ونصفه كما وصف نفسه، ولا نتعدى ذلك، نؤمن بالقرآن كله محكمه ومتشابهه، ولا نزيل عنه تعالى ذكره صفة من صفاته شناعة شنعت
Kita beribadah kepada Alloh dengan sifat-sifatNya sebagimana Dia mensifati dirinya dengan sifat tersebut. Kami tidak melampaui al Qur’an dan al Hadis. Kami berkata sebagimana Dia Ta’ala telah Mengatakannya, kami menetapkan sifat-Nya sebagimana Dia Ta’ala mensifati dirinya, kita tidak melampaui hal tersebut. Kami beriman dengan seluruh Al Qur’a, baik yang muhkamnya atau yang mutasyabihnya. Kami tidak menghilangkan sifat dari sifat-sifatNya Ta’ala Dzikruhu dengan suatu keburukan yang diperbuat. (Diriwayatkan oleh Ibnu Bathoh dalam Ibanah Al Kubra, dengan sanadnya).
Abdurrohman bin Al Qoshim (w. 191 H) murid Imam Malik berkata :
لا ينبغي لأحد أن يصف الله إلا بما وصف به نفسه في القرآن ، ولا يشبه يديه بشيء ، ولا وجهه بشيء ، ولكن يقول : له يدان كما وصف نفسه في القرآن، وله وجه كما وصف نفسه ، يقف عندما وصف به نفسه في الكتاب ، فإنه تبارك وتعالى لا مثل له ولا شبيه ولكن هو الله لا إله إلا هو كما وصف نفسه
Tidak selayaknya sesorang mensifati Alloh kecuali dengan sifat-sifat yang Dia telah mensifati dirinya dengan sifat-sifat tersebut di dalam Al Qur’an, dan tidak mentasybih (menyerupakan) kedua tangannya dengan sesuatu apapun jua, tidak pula mentasybih wajahNya. Hendaknya dia mencukupkan diri tatkala Alloh mensifati dirinya di dalam al Kitab (al Qur’an). Maka sesungguhnya Dia Yang Maha Berkah lagi Maha Tinggi, tiada yang sama dan tiada pula yang serupa denganNya, akan tetapi dialah Alloh yang tidak ada sesembahan yang benar kecuali Dia sebagaimana Dia Ta’ala telah mensifati dirinya. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Zamanain dalam Usulus Sunnah, h. 75, dengan sanadnya.
b.  Mensucikan Alloh dari keserupaan dengan seluruh makhluk. Dalinya firman Alloh Ta’ala :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
“Tidak ada sesuatu apapun yang semisal denganNya” (QS. Asy Syura : 11).
هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا
“Apakah kamu mengetahui ada yang sebanding/sekutu bagiNya”. (QS. Maryam : 65).
وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ
“Dan tidak ada seorangpun yang serupa denganNya”. (QS. Al Ikhlas : 4).
Ishaq bin Rohawaih (w. 238 H) berkata : “Menjadi tasbih itu  jika berkata ‘Tangan seperti tangan (yaddun kayaddin)’ atau ‘Tangan serupa dengan tangan (mitslu yaddin)’ atau ‘pendengaran seperti pendengaran (sam’un ka sam’in)’ atau ‘pendengaran serupa dengan pendengaran (mitslu sam’in), inilah tasbih. Adapun mengatakan seperti yang telah difirmankan Alloh Ta’ala : Tangan, pendengaran, penglihatan, tidak menyebutkan kaifa (bagaimananya), atau tidak menyebutkan seperti pendengaran dan tidak seperti pendengaran (makhluk) maka ini tidak menjadi tasybih”. (Diriwayatkan oleh muridnya; At Tirmidzi, dalam sunannya).
c. Tidak tenggelam dalam pembicaraan masalah kaifiyah sifat (tentang bagaimana hakikat suatu sifat), dalilnya firman Alloh Ta’ala :  “sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya” (QS. Thoha : 110).   “… dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya”. (QS. Al Baqoroh : 255).
Waki’i bin Jarroh (w. 197) rohimahulloh berkata mengenai hadis-hadis sifat : “Kami menerima hadis-hadis ini sebagimana datangnya, kami tidak mengatakan bagaimana ini ? dan kenapa datang ini ?”. (Kitab As Sunnah karya Abdulloh ibnu Al Imam Ahmad 1/269, dengan sanad yang sahih).
Perkataan penulis : (الرحمن على العرش استوى  له ما في السموات و ما في الأرض  و ما بينها و ما تحت الثرى و إن تجهر بالقول فإنه يعلم السر و أخفى) “(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas `Arsy. Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya dan semua yang di bawah tanah. Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi. (Thaahaa : 5-7)”. Dengan mengutif firman Alloh Ta’ala ini penulis bermaksud menjelaskan metode as Salaf dengan menyebutkan nama-nama dan sifat yang terjadi perselisihan dianta firqoh (kelompok), yakni :
  1. Menetapkan nama ar Rohman (Yang Maha Pengasih)  yang mengandung sifat rohmah yang luas, mencakup seluruh makhluk. Maka inilah rahasia Alloh memilih nama Ar Rohman ketika menyebutkan istiwa di atas ‘Arsy.
  2.  Menetapkan sifat istiwa bagi Alloh Subhanahu wa Ta’ala sesuai dengan Kemaha Agungan dan Kehamha MuliaanNya. Karena istiwa Alloh di atas ‘Arsy disebutkan dalam tujuh tempat dalam al Qur’an. Adapun yang mentawilnya dengan istaula atau yang sejenisnya maka bathil. Akan datang tambahan penjelasan dan bantahannya, insya Alloh.
  3. Menetapkan sifat sempurna, penciptaan dan kepemilikan, yakni pada ayat له ما في السموات و ما في الأرض  و ما بينها و ما تحت الثرى  “Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya dan semua yang di bawah tanah”.
  4. Dan Penetapan sifat ilmu bagi Alloh Ta’ala : “Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi”. Oleh karenanya penulis mempertegas dengan berkata setelahnya : أحاط بكل شيء علماً  Ilmunya meliputi segala sesuatu”. Ini Umum yang mutlaq, ia ditunjukkan oleh ayat ini. Dia lah Alloh Ta’ala yang mengetahui segala sesuatu yang sedang mereka kerjakan, yang telah mereka kerjakan dan yang akan mereka perbuat, serta mengetahui segala sesuatu yang tidak akan pernah mereka kerjakan, dan andaikan mereka kerjakan maka Alloh telah mengetahui bagaimana akan terjadinya. Demikian pula Alloh mengetahui yang yang rahasia dan tersembunyi. Perkataan penulis أحاط بكل شيء علماً  “Ilmunya meliputi segala sesuatu” pun, merupakan iqtibas dari firman Alloh Ta’ala : “Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan Sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu”. (QS. At Thoaaq : 12).
Perkataan penulis (وقهر كل مخلوق عزة وحكماً) “menang atas seluruh mahluknya dengan penuh kemuliyaan dan hikmah”. Al Qohru  adalah al Quwah wal gholabah (Kekuatan dan kemenangan). Yakni tidak ada sesuatu apapun yang keluar dari kekuatan Alloh Ta’ala, bagaimanapun keadaan sesuatu tersebut. Dialah Alloh subhanahu wa Ta’ala Yang Maha Kuat lagi Maha Mulia. Sebagimana firmanNya : وهو العزيز الحكيم “Dan Dia lah Alloh Yang Maha Mulia lagi Maha Bijaksana”. Dan firmanNya : وكان الله قوياً عزيزاً “Dan Alloh Maha Kuat lagi Maha Mulia”. Kemuliaan Alloh memiliki tiga makna :
  • ‘Izzatul qodri : Bahwa Alloh pemilik kekuasaan dan kemuliaan, sebagimana sabda Rosululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam : (السيد الله) “Dia lah Alloh Yang Memiliki Kekuasaan dan Kemuliaan”.
  • ‘Izzatul qohri : Alloh Maha Mengalahkan segala sesuatu, tidak dikalahkan bahkan dialah yang maha mengalahkan, Alloh Ta’ala berfirman : وهو القاهر فوق عباده “Dia Alloh Yang Maha Perkasa di atas seluruh hambanya”.
  • ‘Izzatul Imtina’ : Alloh ‘Azza wa Jalla terhindar dari kejelekan dan kekurangan.
Perkataan penulis : (ووسع كل شيء رحمة وعلماً) “Rahmat dan ilmunya meliputi segala sesuatu”. Sebagimana ilmu Alloh meliputi segala sesuatu maka demikian pula rahmatNya. Dan rahmat Alloh yang meliputi segala sesuatu ini pun erat kaitannya dan tarbiayh aamah Alloh Ta’ala kepada makhluknya, yang ia mencakup :
  • Al Iijaad; Dia lah Alloh Ta’ala yang menciptakan segala sesuatu.
  • Al Imdaad; Dia lah Alloh Ta’ala yang memberi dan memanjangkan mereka sehingga hidup tidak binasa.
  •  Al I’daad; Dia Alloh Ta’ala yang mempersiapkaan dan menyesyuiakan penciptaan mereka; untuk kebaikan mereka. Ketga hal ini diantara bentuk luasnya rahmat Alloh Ta’ala.
Kemudian penulis berkata dengan membawakan ayat : “Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka, sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya.(Thaahaa : 110).”, ia menguatkan apa yang telah disebutkan penulis dan penjelasannya.
Perkataan penulis : (موصوف بما وصف به نفسه في كتابه العظيم، وعلى لسان نبيه الكريم) “Disifati dengan sifat yang Dia telah mensifati diriNya di dalam kitabNya yang agung dan melalui lisan nabiNya yang mulia”. Perkataan penulis rahimahulloh menggambarkan penjelasan metode ahlus sunnah wal jama’ah, yakni penetapan nama dan sifat tauqifi. Dan menjelaskan bahwa ahlussunnah wal jama’ah menetapkan sifat tersebut berdasarkan dzohirnya, tanpa tahrif dan ta’thil, serta tanpa takyif dan tamtsil[15].

[1] Kita akan memahami maksud “tidak ada kekurangan baik secara ihtimal atau taqdir”, dari pembagian kita terhadap suatu lafadz menjadi empat jenis :
a.    Lafadz tersebut menunjukkan pada makna kurang dan tidak ada kesempurnaan di dalamnya, seperti lemah, faqir dan buta. Maka Alloh tidak boleh dinamai dengan Yang Lemah, Yang Faqir dan Yang Buta. – Maha suci Alloh Ta’ala –.
b.    Lafadz tersebut kadang menunjukkan pada makna kurang suatu keadaan dan sempurna pada keadaan yang lainnya. Yakni lafadz tersebut mengandung dua makna, contoh : Makar, tipu daya, mengolok-olok. Maka Alloh tidak dinamai pula dengan nama-nama seperti ini, tidak dikatakan : Al Maakir (Pembuat makar), al Mukhodi’ (Yang Melakukan tipu daya), dan al Mustahji’ (Yang melakukan olok-olok). Inilah yang dimaksudkan dengan perktaan : ‘baik secara ihtimal.
c.    Lafadz tersebut menunjukkan pada kesempurnaan, akan tetapi membawa makna kurang (naqs) secara taqdir hati. Seperti Al Mutakalim (Yang Berbicara), al Murid, al Faa’il. Contohnya Al Mutakalim : Karena yang berbicara kadang berbicara jelek, maka Alloh tidak dinamai dengannya, karena nama Alloh tidak mengandung kemungkinan kurang, walau secara taqdir.
d.    Lafadz yang menunjukkan pada puncak kemuliaan serta tidak kekurangan di dalam lafadz tersebut, selama-lamanya. Tidak secara ihtimal atau pun secara taqdir. Dengan lafadz seperti inilah Alloh Ta’ala dinamai. (Lihat Syarah Syaikhoh Kaamilh pada kitab al Qowaidul Mutsla, h. 49).
[2]  Lihat Al-Mujalla Syarhu Qow’idul Mutsla, h. 123 -143.
[3]
 Apakah Nama-Nama Alloh Dibatasi Dengan Jumlah Tertentu ?
Jawab : Para ulama berbeda pendapat pada dua pendapat :

Pendapat pertama :
Nama-nama Alloh tidak terbatas, bahkan (jumlah) nama-nama dan sifat-sifat Alloh merupakan sesuatu yang yang disembunyikan di ilmu ghoib; di sisi-Nya. Ini merupakan pendapat kebanyakan para ulama, seperti Al-Khottobi, Al-Qurthibi, Al-Qhodi Abu baker bin at-Thoyyib, Ibnul ‘Arobi, Ar-Rozi dan Ibnu Hajar, sebagimana disebutkan oleh Muhammad Taqiy Al-’Utsmaniy di dalam kitab Takmilah Fathil Malahim ‘Ala Syarhi Muslim (5\536). Bahkan Imam Nawawi di dalam Syarh Muslim (5\18) telah menghikayatkan kesepakatan, bahwa nama-nama Alloh tidaklah dibatasi.
Syaikhul Islam (Al-Fatawa 22\482) berkata : Telah berlalu salaful ummah dan para imamnya di dalam pendapat seperti ini.
Pendapat kedua : Nama-nama Alloh dibatasi dengan bilangan tertentu, kemudian mereka berbeda pendapat tentang penentuan jumlahnya. (1) Ada yang menyabutkan seratus, seperti As-Suhailiy. (2) Ada yang menyebutkan seribu. (3) Ada yang menyebutkan empat ribu nama, seribu hanya Alloh yang tahu, seribu yang kedua hanya Alloh dan malaikat-Nya yang tahu, seribu yang ketiga hanya Alloh, Malaikat-Nya dan Rosul-Nya yang tahu, adapun seribu yang keempatnya maka orang mu’min pun mengetahuinya, 300 nya di Taurot, 300 di dalam kitab injil, 300 di dalam kitab Zabur dan 100 di dalam al-Qur’an, sembilan puluh sembilannya jelas sedangkan yang satunya lagi disembunyikan. (4) Nama-nama Alloh hanya 99 saja, dan tidak halal bagi seorang pun untuk menambahkan kepada jumlah ini, ini merupakan pendapat Ibnu Hazm.
[4]
Lihat Al-Mujalla fi Syarhi Al-Qowa’id Al-Mutsla, Syaikhoh Kamilah, h. 797-117. Dar Ibnu Hazm1422\2002 M.
[5]
 Karena dilalah terbagi dua : lafdiyah dan selain lafdziyah.
[6]
Lazim seacara bahasa adalah : sesuatu yang terlarang terpisahnya dari sesuatu tersebut.
[7]
Suatu yang harus diperhatikan, tatkala kita menetapkan lawazim dari suatu nama Alloh, maka lawazim itu sendiri telah ditunjukan oleh dalil.
[8]
Fi’il Muta’addi : Ia adalah fi’il (kata kerja) yang membutuhkan subjek (fa’il)\pelaku  yang melakukan pekerjaan itu dan juga membutuhkan objek (maf’ul bih)\penderita yang dikenakan kepadanya pekerjaan tersebut. Di dalam istilah bahasa Indonesia disebut dengan kata kerja transitif, sedangkan kata kerja yang tidak membutuhkan objek penderita dinamakan kata kerja intransitif (Fi’il Lazim).
[9]
 Yakni lazim\transitif.
[10]
 Yakni : Kesamaan di dalam nama memberikan konsekwensi kesamaan di dalam sifat.
[11]
 Silahkan merujuk kepada kitab tersebut.
[12]
Sifat tsubutiyah sangatlah banyak, diantaranya : Ilmu, hayat, ‘izzah, qudroh, hikmah, kibriya, quwwah, istiwa, nuzul, maji, dan selainnya. Sifat tsubutiyah merupakan sifat pujian dan kesempurnaan.  Dan kebanyakan sifat itu masuk dalam jenis ini, yakni tsubutiyah.
[13]
Seluruh sifat manfiyah merupakan sifat kurang bagi hak Alloh Ta’ala. Diantara contohnya tidur, maut, jahlu (bodoh), nisyan (lupa), dan ad dzulmu (dzalim). Kewajiban kita menafikannya dari Alloh ‘Azza wa Jalla dibarengi dengan menetapkan sifat sempurna dari kebalikan sifat-sifat kurang tersebut.  Oleh karenyanya puncak tujuan dari sifat manfiyah ini tidak terbatas pada  mengetahui dan meyakini sifat manfiyah tersebut, tapi harus menetapkan sifat kesempurnaan bagi Alloh Ta’ala berdasar kebalikan dari sifat manfi tersebut, karena asalnya menetapkan sifat, sedangkan sifat salbi; yakni manfiyah hanyalah taabi’ (mengikuti).  Dan pada keumumannya sifat salbi ini didahului oleh adatun nafyi; seperti laa, maa dan laitsa.  Allohu ‘alam.
[14]
Mereka menjadikan akal sebagai pondasi sedangkan dalil syar’i mengikuti, maka mereka tidak sungkan-sungkan mengedepankan akal daripada wahyu. Diantara perkataan mereka yang terkenal adalah :
وكل نص أوهم التشبيها  ***  أوله أو فوض ورم تنزيها
(Lihat Jauhar Tauhid, h. 91 berserta Syarh Syaikh Ibrohim Al Baijuriy).
[15]
 Akan datang penjelasannya, insya Alloh Ta’ala.

0 comments:

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP