Sering kita dapati sebagian ustadz atau
kiyai yang mengatakan, "Tahlilan kok dilarang?, tahlilan kan artinya Laa
ilaah illallahh?".
Tentunya tidak seorang muslimpun yang
melarang tahlilan, bahkan yang melarang tahlilan adalah orang yang tidak
diragukan kekafirannya. Akan tetapi yang dimaksud dengan istilah
"Tahlilan" di sini adalah acara yang dikenal oleh masyarakat yaitu acara
kumpul-kumpul di rumah kematian sambil makan-makan disertai mendoakan
sang mayit agar dirahmati oleh Allah.
Lebih aneh lagi jika ada
yang melarang tahlilan langsung dikatakan "Dasar wahabi"..!!!
Seakan-akan
pelarangan melakukan acara tahlilan adalah bid'ah yang dicetus oleh
kaum wahabi !!?
A. Ijmak Ulama bahwa Nabi,
para sahabat, dan para imam madzhab tidak pernah tahlilanTentu
sangat tidak diragukan bahwa acara tahlilan –sebagaimana acara maulid
Nabi dan bid'ah-bid'ah yang lainnya- tidaklah pernah dilakukan oleh Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak juga para sahabatnya, tidak juga
para tabi'in, dan bahkan tidak juga pernah dilakukan oleh 4 imam madzhab
(Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafii, dan Ahmad rahimahumullah).
Akan
tetapi anehnya sekarang acara tahlilan pada kenyataannya seperti
merupakan suatu kewajiban di pandangan sebagian masyarakat. Bahkan
merupakan celaan yang besar jika seseorang meninggal lalu tidak
ditahlilkan. Sampai-sampai ada yang berkata, "Kamu kok tidak
mentahlilkan saudaramu yang meninggal??,
seperti nguburi kucing
aja !!!".
Tidaklah diragukan bahwa Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam telah kehilangan banyak saudara, karib
kerabat, dan juga para sahabat beliau yang meninggal di masa kehidupan
beliau. Anak-anak beliau (Ruqooyah, Ummu Kaltsum, Zainab, dan Ibrahim
radhiallahu 'anhum) meninggal semasa hidup beliau, akan tetapi tak
seorangpun dari mereka yang ditahlilkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam. Apakah semuanya dikuburkan oleh Nabi seperti menguburkan
kucing??.
Istri beliau yang sangat beliau cintai Khodijah
radhiallahu 'anhaa juga meninggal di masa hidup beliau, akan tetapi sama
sekali tidak beliau tahlilkan. Jangankan hari ke-3, ke-7, ke-40,
ke-100, ke-1000 bahkan sehari saja tidak beliau tahlilkan. Demikian juga
kerabat-kerabat beliau yang beliau cintai meninggal di masa hidup
beliau, seperti paman beliau Hamzah bin Abdil Muthholib, sepupu beliau
Ja'far bin Abi Thoolib, dan juga sekian banyak sahabat-sahabat beliau
yang meninggal di medan pertempuran, tidak seorangpun dari mereka yang
ditahlilkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Demikian pula jika kita beranjak kepada zaman al-Khulafaa' ar-Roosyidin
(Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali) tidak seorangpun yang melakukan
tahlilan terhadap saudara mereka atau sahabat-sahabat mereka yang
meninggal dunia.
Nah lantas apakah acara tahlilan yang tidak
dikenal oleh Nabi dan para sahabatnya, bahkan bukan merupakan syari'at
tatkala itu, lantas sekarang berubah statusnya menjadi syari'at yang
sunnah untuk dilakukan??!!, bahkan wajib??!! Sehingga jika ditinggalkan
maka timbulah celaan??!!
Sungguh indah perkataan Al-Imam Malik
(gurunya Al-Imam Asy-Syaafi'i rahimahumallahu)
فَمَا لَمْ يَكُنْ
يَوْمَئِذٍ دِيْنًا لاَ يَكُوْنُ الْيَوْمَ دِيْنًا
"Maka
perkara apa saja yang pada hari itu (pada hari disempurnakan Agama
kepada Nabi, yaitu masa Nabi dan para sahabat-pen) bukan merupakan
perkara agama maka pada hari ini juga bukan merupakan perkara agama.”(Al-Ihkam,
karya Ibnu Hazm 6/255)
Bagaimana bisa suatu perkara yang
jangankan merupakan perkara agama, bahkan tidak dikenal sama sekali di
zaman para sahabat, kemudian lantas sekarang menjadi bagian dari agama
!!!
B. Yang Sunnah adalah meringankan beban
keluarga mayat bukan malah memberatkan Yang
lebih tragis lagi acara tahlilan ini ternyata terasa berat bagi sebagian
kaum muslimin yang rendah tingkat ekonominya. Yang seharusnya keluarga
yang ditinggal mati dibantu, ternyata kenyataannya malah dibebani dengan
acara yang berkepanjangan…biaya terus dikeluarkan untuk tahlilan…hari
ke-3, hari ke-7, hari ke-40, hari ke-100, hari ke-1000…
Tatkala
datang kabar tentang meninggalnya Ja'far radhiallahu 'anhu maka Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam berkata :
اِصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرَ
طَعَامًا فَإِنَّهُ قَدْ أَتَاهُمْ مَا يُشْغِلُهُمْ
"Buatlah
makanan untuk keluarga Ja'far, karena sesungguhnya telah datang kepada
mereka perkara yang menyibukan mereka" (HR Abu Dawud no 3132
Al-Imam
Asy-Syafi'I rahimahullah berkata :
وَأُحِبُّ لِجِيرَانِ
الْمَيِّتِ أو ذِي قَرَابَتِهِ أَنْ يَعْمَلُوا لِأَهْلِ الْمَيِّتِ في
يَوْمِ يَمُوتُ وَلَيْلَتِهِ طَعَامًا يُشْبِعُهُمْ فإن ذلك سُنَّةٌ
وَذِكْرٌ كَرِيمٌ وهو من فِعْلِ أَهْلِ الْخَيْرِ قَبْلَنَا وَبَعْدَنَا
لِأَنَّهُ لَمَّا جاء نَعْيُ جَعْفَرٍ قال رسول اللَّهِ صلى اللَّهُ عليه
وسلم اجْعَلُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فإنه قد جَاءَهُمْ أَمْرٌ
يَشْغَلُهُمْ
"Dan aku menyukai jika para tetangga mayat atau para
kerabatnya untuk membuat makanan bagi keluarga mayat yang mengenyangkan
mereka pada siang dan malam hari kematian sang mayat. Karena hal ini
adalah sunnah dan bentuk kebaikan, dan ini merupakan perbuatan
orang-orang baik sebelum kami dan sesudah kami, karena tatkala datang
kabar tentang kematian Ja'far maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda, "Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja'afar, karena
telah datang kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka" (Kitab
Al-Umm 1/278)
C. Argumen Madzhab Syafi'i Yang
Menunjukkan makruhnya/bid'ahnya acara TahlilanBanyak
hukum-hukum madzhab Syafi'i yang menunjukkan akan makruhnya/bid'ahnya
acara tahlilan. Daintaranya :
PERTAMA : Pendapat
madzhab Syafi'i yang mu'tamad (yang menjadi patokan) adalah dimakruhkan
berta'ziah ke keluarga mayit setelah tiga hari kematian mayit. Tentunya
hal ini jelas bertentangan dengan acara tahlilan yang dilakukan
berulang-ulang pada hari ke-7, ke-40, ke-100, dan bahkan ke-1000
Al-Imam
An-Nawawi rahimahullah berkata :

"Para sahabat kami (para fuqohaa madzhab syafi'i)
mengatakan : "Dan makruh ta'ziyah (melayat) setelah tiga hari. Karena
tujuan dari ta'ziah adalah untuk menenangkan hati orang yang terkena
musibah, dan yang dominan hati sudah tenang setelah tiga hari, maka
jangan diperbarui lagi kesedihannya. Dan inilah pendapat yang benar yang
ma'ruf…." (Al-Majmuu' Syarh Al-Muhadzdzab 5/277)
Setalah itu
al-Imam An-Nawawi menyebutkan pendapat lain dalam madzhab syafi'i yaitu
pendapat Imam Al-Haromain yang membolehkan ta'ziah setelah lewat tiga
hari dengan tujuan mendoakan mayat. Akan tetapi pendapat ini diingkari
oleh para fuqohaa madzhab syafi'i.
Al-Imam An-Nawawi berkata :

"Dan Imam al-Haromain menghikayatkan –satu pendapat dalam
madzhab syafi'i- bahwasanya tidak ada batasan hari dalam berta'ziah,
bahkan boleh berta'ziah setelah tiga hari dan meskipun telah lama waktu,
karena tujuannya adalah untuk berdoa, untuk kuat dalam
bersabar, dan larangan untuk berkeluh kesah. Dan hal-hal ini bisa
terjadi setelah waktu yang lama. Pendapat ini dipilih (dipastikan) oleh
Abul 'Abbaas bin Al-Qoosh dalam kitab "At-Talkhiis".
Al-Qoffaal
(dalam syarahnya) dan para ahli fikih madzhab syafi'i yang lainnya
mengingkarinya. Dan pendapat madzhab syafi'i adalah adanya
ta'ziah akan tetapi tidak ada ta'ziah setelah tiga hari. Dan ini adalah
pendapat yang dipastikan oleh mayoritas ulama.
Al-Mutawalli dan
yang lainnya berkata, "Kecuali jika salah seorang tidak hadir, dan hadir
setelah tiga hari maka ia boleh berta'ziah"
(Al-Majmuu' Syarh
Al-Muhadzdzab 5/277-278)
Lihatlah dalam perkataan al-Imam
An-Nawawi di atas menunjukkan bahwasanya dalih untuk mendoakan sang
mayat tidak bisa dijadikan sebagai argument untuk membolehkan acara
tahlilan !!!
KEDUA : Madzhab syafi'i
memakruhkan sengajanya keluarga mayat berkumpul lama-lama dalam rangka
menerima tamu-tamu yang berta'ziyah, akan tetapi hendaknya mereka segera
pergi dan mengurusi kebutuhan mereka.
Al-Imam An-Nawawi
rahimahullah berkata :

"Adapun duduk-duduk untuk ta'ziyah maka
Al-Imam
Asy-Syafi'i menashkan (menyatakan) dan juga sang penulis al-Muhadzdzab
serta seluruh ahli fikih madzhab syafi'i akan makruhnya hal tersebut…Mereka
(para ulama madzhab syafi'i) berkata : Yang dimaksud dengan
"duduk-duduk untuk ta'ziyah"
adalah para keluarga mayat
berkumpul di rumah lalu orang-orang yang hendak ta'ziyah pun mendatangi
mereka.
Mereka (para ulama madzhab syafi'i) berkata :
Akan tetapi hendaknya mereka (keluarga mayat) pergi untuk memenuhi
kebutuhan mereka, maka barang siapa yang bertemu mereka memberi ta'ziyah
kepada mereka. Dan hukumnya tidak berbeda antara lelaki dan wanita
dalam hal dimakruhkannya duduk-duduk untuk ta'ziyah…"
Al-Imam
Asy-Syafi'i berkata dalam kitab "Al-Umm" :
"Dan aku benci
al-maatsim yaitu berkumpulnya orang-orang (di rumah keluarga mayat –pen)
meskipun mereka tidak menangis. Karena hal ini hanya
memperbarui
kesedihan, dan membebani pembiayayan….". ini adalah lafal nash
(pernyataan) Al-Imam Asy-syafi'i dalam kitab al-Umm. Dan beliau diikuti
oleh para ahli fikih madzhab syafi'i.
Dan penulis (kitab
al-Muhadzdzab) dan yang lainnya juga berdalil untuk pendapat ini dengan
dalil yang lain, yaitu bahwasanya model seperti ini adalah
muhdats
(bid'ah)" (Al-Majmuu' Syarh Al-Muhadzdzab 5/278-279)
Sangat
jelas dari pernyataan Al-Imam An-Nawawi rahimahullah ini bahwasanya
para ulama madzhab syafi'i memandang makruhnya berkumpul-kumpul di rumah
keluarga mayat karena ada 3 alasan :
(1) Hal ini hanya
memperbarui kesedihan, karenanya dimakruhkan berkumpul-kumpul meskipun
mereka tidak menangis
(2) Hal ini hanya menambah biaya
(3)
Hal ini adalah bid'ah (muhdats)
KETIGA
: Madzhab syafi'i memandang bahwa perbuatan keluarga mayat yang membuat
makanan agar orang-orang berkumpul di rumah keluarga mayat adalah
perkara bid'ah
Telah lalu penukilan perkataan Al-Imam Asy-Syafi'i
rahimahullah :
وَأُحِبُّ لِجِيرَانِ الْمَيِّتِ أو ذِي
قَرَابَتِهِ أَنْ يَعْمَلُوا لِأَهْلِ الْمَيِّتِ في يَوْمِ يَمُوتُ
وَلَيْلَتِهِ طَعَامًا يُشْبِعُهُمْ فإن ذلك سُنَّةٌ وَذِكْرٌ كَرِيمٌ وهو
من فِعْلِ أَهْلِ الْخَيْرِ قَبْلَنَا وَبَعْدَنَا لِأَنَّهُ لَمَّا جاء
نَعْيُ جَعْفَرٍ قال رسول اللَّهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم اجْعَلُوا لِآلِ
جَعْفَرٍ طَعَامًا فإنه قد جَاءَهُمْ أَمْرٌ يَشْغَلُهُمْ
"Dan aku
menyukai jika para tetangga mayat atau para kerabatnya untuk membuat
makanan bagi keluarga mayat yang mengenyangkan mereka pada siang dan
malam hari kematian sang mayat. Karena hal ini adalah sunnah dan bentuk
kebaikan, dan ini merupakan perbuatan orang-orang baik sebelum kami dan
sesudah kami, karena tatkala datang kabar tentang kematian Ja'far maka
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Buatkanlah makanan
untuk keluarga Ja'afar, karena telah datang kepada mereka perkara yang
menyibukkan mereka" (Kitab Al-Umm 1/278)
Akan tetapi jika
ternyata para wanita dari keluarga mayat berniahah (meratapi) sang mayat
maka para ulama madzhab syafi'i memandang tidak boleh membuat makanan
untuk mereka (keluarga mayat).
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah
berkata :

Para sahabat kami (para ahli fikih madzhab syafi'i)
rahimahullah berkata, "Jika seandainya para wanita melakukan niahah
(meratapi sang mayat di rumah keluarga mayat-pen) maka tidak boleh
membuatkan makanan bagi mereka. Karena hal ini merupakan bentuk membantu
mereka dalam bermaksiat.
Penulis kitab as-Syaamil dan yang
lainnya berkata : "Adapun keluarga mayat membuat makanan dan
mengumpulkan orang-orang untuk makan makanan tersebut maka tidak
dinukilkan sama sekali dalilnya, dan hal ini merupakan
bid'ah,
tidak mustahab (tidak disunnahkan/tidak dianjurkan)".
Ini adalah
perkataan penulis asy-Syaamil. Dan argumen untuk pendapat ini adalah
hadits Jarir bin Abdillah radhiallahu 'anhu ia berkata, "Kami memandang
berkumpul di rumah keluarga mayat dan membuat makanan setelah
dikuburkannya mayat termasuk niyaahah". Diriwayatkan oleh Ahmad bin
Hambal dan Ibnu Maajah dengan sanad yang shahih" (Al-Majmuu' Syarh
Al-Muhadzdzab 5/290)
D. Fatwa para ulama 4
madzhab di kota Mekah akan bid'ahnya tahlilanDiantara
para ulama madzhab syafi'i lainnya yang menyatakan dengan tegas akan
bid'ahnya tahlilan adalah :
Dalam kitab Hasyiah I'aanat
at-Thoolibin, Ad-Dimyaathi berkata :

"Aku telah melihat pertanyaan yang ditujukan kepada para
mufti kota Mekah tentang makanan yang dibuat oleh keluarga mayat dan
jawaban mereka tentang hal ini.
(Pertanyaan) : Apakah pendapat
para mufti yang mulia di tanah haram –semoga Allah senantiasa menjadikan
mereka bermanfaat bagi manusia sepanjang hari- tentang tradisi khusus
orang-orang yang tinggal di suatu negeri, yaitu bahwasanya jika
seseorang telah berpindah ke daarul jazaa' (akhirat) dan orang-orang
kenalannya serta tetangga-tetangganya menghadiri ta'ziyah (melayat) maka
telah berlaku tradisi bahwasanya mereka menunggu (dihidangkannya)
makanan. Dan karena rasa malu yang meliputi keluarga mayat maka
merekapun bersusah payah untuk menyiapkan berbagai makanan untuk para
tamu ta'ziyah tersebut. Mereka menghadirkan makanan tersebut untuk para
tamu dengan susah payah. Maka apakah jika kepala pemerintah yang lembut
dan kasih sayang kepada rakyat melarang sama sekali tradisi ini agar
mereka kembali kepada sunnah yang mulia yang diriwayatkan dari Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam dimana beliau berkata, "Buatkanlah
makanan untuk keluarga Ja'far", maka sang kepala pemerintahan ini akan
mendapatkan pahala karena pelarangan tersebut?. Berikanlah jawaban
dengan tulisan dan dalil !!"
Jawaban :

"Segala puji hanya milik Allah, dan semoga shalawat dan
salam untuk Nabi Muhammad, keluarganya, para sahabatnya, dan para
pengikutnya setelahnya. Ya Allah aku meminta kepadMu petunjuk kepada
kebenaran.
Benar bahwasanya apa yang dilakukan oleh masyarakat
berupa berkumpul di keluarga mayat dan pembuatan makanan merupakan
bid'ah
yang munkar yang pemerintah diberi pahala atas pelarangannya ….
Dan tidaklah diragukan bahwasanya melarang
masyarakat dari bid'ah yang mungkar ini, padanya ada bentuk menghidupkan
sunnaah dan mematikan bid'ah, membuka banyak pintu kebaikan
dan menutup banyak pintu keburukan. Karena masyarakat benar-benar
bersusah payah, yang hal ini mengantarkan pada pembuatan makanan
tersebut hukumnya haram. Wallahu a'lam.
Ditulis oleh : Yang
mengharapkan ampunan dari Robnya : Ahmad Zainy Dahlan, mufti madzhab
Syafi'iyah di Mekah"
Adapun jawaban
Mufti madzhab
Hanafiyah di Mekah sbb :

"Benar, pemerintah (waliyyul 'amr) mendapatkan pahala
atas pelarangan masyarakat dari perbuatan-perbuatan tersebut yang
merupakah bid'ah yang buruk menurut mayoritas ulama….
Penulis
Raddul Muhtaar berkata, "Dan dibenci keluarga mayat menjamu dengan
makanan karena hal itu merupakan bentuk permulaan dalam kegembiraan, dan
hal ini
merupakan bid'ah"…
Dan dalam al-Bazzaaz
: "Dan dibenci menyediakan makanan
pada hari pertama, hari
ketiga, dan setelah seminggu, serta memindahkan makanan ke
kuburan pada waktu musim-musim dst"…
Ditulis oleh pelayan
syari'at dan minhaaj : Abdurrahman bin Abdillah Sirooj, Mufti madzhab
Hanafiyah di Kota Mekah Al-Mukarromah…
Ad-Dimyathi berkata : Dan
telah menjawab semisal dua jawaban di atas
Mufti madzhab
Malikiah dan Mufti madzhab Hanabilah" (Hasyiah I'aanat
at-Thoolibin 2/165-166)
PenutupPertama
: Mereka yang masih bersikeras melaksanakan acara tahlilan mengaku
bermadzhab syafi'iyah, akan tetapi ternyata para ulama syafi'iyah
membid'ahkan acara tahlilan !!. Lantas madzhab syafi'iyah yang manakah
yang mereka ikuti ??
(silahkan baca juga :
http://hijrahdarisyirikdanbidah.blogspot.com/2010/06/tahlilan-dalam-pandangan-nu.html)
Kedua
: Para ulama telah ijmak bahwasanya mendoakan mayat yang telah
meninggal bermanfaat bagi sang mayat. Demikian pula para ulama telah
berijmak bahwa sedekah atas nama sang mayat akan sampai pahalanya bagi
sang mayat. Akan tetapi kesepakatan para ulama ini tidak bisa dijadikan
dalil untuk melegalisasi acara tahlilan, karena meskipun mendoakan mayat
disyari'atkan dan bersedakah (dengan memberi makanan) atas nama mayat
disyari'atkan, akan tetapi kaifiyat (tata cara) tahlilan inilah yang
bid'ah yang diada-adakan yang tidak dikenal oleh Nabi dan para
sahabatnya. Kreasi tata cara inilah yang diingkari oleh para ulama
syafi'iyah, selain merupakan perkara yang muhdats juga bertentangan
dengan nas (dalil) yang tegas :
- Dari Jarir bin Abdillah
radhiyallahu 'anhu : "Kami memandang berkumpul di rumah keluarga mayat
dan membuat makanan setelah dikuburkannya mayat termasuk niyaahah".
Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal dan Ibnu Maajah dengan sanad yang
shahih"
- Berlawanan dengan sunnah yang jelas untuk
membuatkan makanan bagi keluarga mayat dalam rangka meringankan beban
mereka
Bid'ah sering terjadi dari sisi kayfiyah (tata cara).
Karenanya kita sepakat bahwa adzan merupakan hal yang baik, akan tetapi
jika dikumandangkan tatkala sholat istisqoo, sholat gerhana, sholat 'ied
maka ini merupakan hal yang bid'ah. Kenapa?, karena Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam dan para sahabatnya tidak pernah melakukannya.
Demikian
juga bahwasanya membaca ayat al-kursiy bisa mengusir syaitan, akan
tetapi jika ada seseorang lantas setiap kali keluar dari masjid selalu
membaca ayat al-kursiy dengan dalih untuk mengusir syaitan karena di
luar masjid banyak syaitan, maka kita katakan hal ini adalah bid'ah.
Kenapa?, karena kaifiyyah dan tata cara seperti ini tidak pernah
dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya.
Ketiga :
Kalau kita boleh menganalogikan lebih jauh maka bisa kita katakan
bahwasanya orang yang nekat untuk mengadakan tahlilan dengan alasan
untuk mendoakan mayat dan menyedekahkan makanan, kondisinya sama seperti
orang yang nekat sholat sunnah di waktu-waktu terlarang. Meskipun
ibadah sholat sangat dicintai oleh Allah, akan tetapi Allah telah
melarang melaksanakan sholat pada waktu-waktu terlarang.
Demikian
pula berkumpul-kumpul di rumah keluarga kematian dan bersusah-susah
membuat makanan untuk para tamu bertentangan dan bertabrakan dengan dua
perkara di atas:
- Sunnahnya membuatkan makanan untuk
keluarga mayat
- Dan hadits Jarir bin Abdillah tentang
berkumpul-kumpul di keluarga mayat termasuk niyaahah yang dilarang.
Keempat
: Untuk berbuat baik kepada sang mayat maka kita bisa menempuh
cara-cara yang disyari'atkan, sebagaimana telah lalu. Diantaranya adalah
mendoakannya kapan saja –tanpa harus acara khusus tahlilan-, dan juga
bersedakah kapan saja, berkurban atas nama mayat, menghajikan dan
mengumrohkan sang mayat, dll.
Adapun mengirimkan pahala bacaan
Al-Qur'an maka hal ini diperselisihkan oleh para ulama. Dan pendapat
yang dipilih oleh Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah bahwasanya
mengirimkan pahala bacaan al-Qur'an tidak akan sampai bagi sang mayat.
Kelima
: Kalaupun kita memilih pendapat ulama yang menyatakan bahwa mengirim
bacaan al-qur'an akan sampai kepada mayat, maka kita berusaha agar kita
atau keluarga yang mengirimkannya, ataupun orang lain adalah orang-orang
yang amanah.
Adapun menyewa para pembaca al-Qur'an yang sudah
siap siaga di pekuburan menanti kedatangan para peziarah kuburan untuk
membacakan al-quran dan mengirim pahalanya maka hendaknya dihindari
karena :
- Tidak disyari'atkan membaca al-Qur'an di
kuburan, karena kuburan bukanlah tempat ibadah sholat dan membaca
al-Qur'an
- Jika ternyata terjadi tawar menawar harga
dengan para tukang baca tersebut, maka hal ini merupakan indikasi akan
ketidak ikhlasan para pembaca tersebut. Dan jika keikhlasan mereka dalam
membaca al-qur'an sangat-sangat diragukan, maka kelazimannya pahala
mereka juga sangatlah diragukan. Jika pahalanya diragukan lantas apa
yang mau dikirimkan kepada sang mayat??!!
- Para pembaca
sewaan tersebut biasanya membaca al-Qur'an dengan sangat cepat karena
mengejar dan memburu korban penziarah berikutnya. Jika bacaan mereka
terlalu cepat tanpa memperhatikan tajwid, apalagi merenungkan maknanya,
maka tentu pahala yang diharapkan sangatlah minim. Terus apa yang mau
dikirimkan kepada sang mayat ??!!